Sabtu, 21 Januari 2012

Membaca Alkitab dari Perspektif Perempuan


Pengantar
            Dominasi peran dan status laki-laki hampir terjadi dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan berjemaat dan bergereja. Tidak hanya itu, hal itu juga berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan gereja, baik dalam aras sinodal maupun gereja lokal juga terjadi dominasi status dan peran laki-laki. Hal inilah yang akhirnya memunculkan gerakan feminis baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keagamaan. Maka itulah muncul teolog feminis dan feminis Kristen.  

Alkitab dan Perempuan menurut Claire-Barth
Menurut Marie Claire Barth, perempuan dianggap sebagai sebuah subjek yang sedang mencari sejarah serta jati dirinya dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki saja. Marie Claire Barth mengatakan bahwa perempuan itu tidak dapat dilihat berdasarkan kodratnya, pola masyarakat dan budaya yang terbentuk, pemikiran-pemikiran melainkan perempuan harus dilihat berdasarkan pengalaman mereka, yang membawa mereka pada sebauh usaha untuk membebaskan diri dari pola dan tatanan laki-laki.
Demikian halnya dengan teologi feminis. Teologi feminis berusaha mencari pembebasan dari sebuah sistem dan pola patriarkat untuk menuju sebuah hubungan baru. Dalam hal ini terjadi sebuah perubahan yang mana pihak yang tadi berkuasa akhirnya bersedia melepaskan tuntutan dan kesombangannya untuk mau dan rela membuka diri pada pihak yang lemah. Dengan demikian, diharapkan terjadinya sebuah perkembangan persekutuan baru di antara mitra yang sederajat sebagai sesama makhluk Allah dan saudara Yesus.
              Menurut Claire Barth, Alkitab dibentuk oleh kaum laki-laki dalam sebuah konteks budaya patriakal sehingga banyak pengalaman dan pernyataan ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriakal (Barth 2006, 28). Upaya penafsiran pun dari waktu ke waktu serta proses kanonisasi yang terjadi turut menunjang pemahaman patriakal dan meniadakan hal-hal yang masih tersirat tentang pengalaman perempuan. Sederhananya, Alkitab dapat dikatakan masih terpelihara dan ditafsirkan secara androsentris. Maka dari itu, teologi feminis berusaha melakukan pembaharuan dengan melihat Alkitab sebagai sebuah patokan yang memberdayakan perempuan untuk melawan ketidakadilan, bukan justru sebagai sesuatu yang melegitimasi perempuan kepada kelas dua.

Improvisasi Teologi dalam Pemikiran Maria Claire Barth
            Menurut kelompok, improvisasi teologi merupakan sebuah usaha yang lahir dari sensitifitas terhadap pengalaman manusia dan konsep teologi yang sudah ada dan mengarah pada pola aksi-reaksi yang bertujuan untuk mengembangkan, memperkaya, memperluas bahkan menghasilkan sebuah konsep teologi yang lebih seimbang. Maria Claire Barth, seorang teolog feminis Kristen juga melakukan sebuah improvisasi teologi dalam karyanya.
Dalam upaya melakukan sebuah improvisasi teologi, Claire Barth mencoba melihat hal yang paling mendasar yakni dalam hal menafsir Alkitab. Menurutnya, adalah baik untuk membaca Alkitab dengan mata baru. Salah satu caranya ialah membaca Alkitab dari pengalaman perempuan. Claire Barth memberikan beberapa metode dalam menafsirkan Alkitab, yakni dengan:
·         bertolak dari pengalaman perempuan yang dapat diikutsertakan untuk menceritakan pengalaman mereka dalam menentukan tradisi,
·         melihat Alkitab sebagai patokan yang memberdayakan perempuan untuk melawan ketidakadilan yang diderita mereka,
·         mencari kriteria di luar Alkitab yang memusatkan perhatian pada perjuangan setiap perempuan dan laki-laki untuk mengatasi tatanan kuasa patriarki yang menyangkal kemanusiaan,
·         Alkitab harus dibaca dari sudut pandang yang lain. Alkitab dilihat dari titik tolak dari agama dan kebudayaan sendiri sehingga membutuhkan kerendahan hati dalam cara berpikir.
Beberapa metode inilah yang merupakan bentuk upaya dari improvisasi teologis tersebut. Hal ini juga sekaligus wujud atau bentuk nyata hasil dari sebuah sensitifitas dari Claire Barth dalam melihat dan menganalisis sebuah situasi atau keadaan yang terbentuk.
            Dari sensitifitas tersebut, tahap selanjutnya ialah melakukan sebuah pola aksi-reaksi yang bertujuan mengembangkan, memperkaya, memperluas, bahkan menghasilkan sebuah konsep teologi yang lebih seimbang. Hal ini nyata dengan uraian Claire Barth dalam memberikan sebuah konsep penafsiran teologis yang baru. Claire Barth memaparkan konsep teologis barunya dalam Allah, dan perempuan membaca surat-surat rasuli. Tentunya, merupakan sebuah proses yang panjang untuk memaparkan dan menguraikan konsep teologisnya yang baru dalam paper ini. Kelompok akan mencoba memberikan beberapa contoh sederhana saja dari tiap bagian tersebut.
            Dalam kisah Penciptaan (PL), perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan (Barth 2006, 44). Tentunya secara logika jika dikatakan sebagai penolong, karakter yang harus utama dalam diri penolong tersebut setidaknya adalah lebih tinggi atau setingkat. Dari kisah Injil kerajaaan Allah, hal yang utama ialah bagaimana peran besar dari perempuan sebagai saksi utama kebangkitan Yesus. Tindakan para perempuan yang merawat mayat Yesus, pergi ke kubur pertama kali, Yesus yang menekankan prioritas perempuan menunjukkan betapa besarnya peran perempuan. Terakhir dari membaca surat-surat rasuli seperti konsep tatanan rumah tangga yang mana pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama yaitu saling merendahkan diri.   

Tindakan Aksi-Refleksi
            Dalam kehidupan pelayanan di gereja, perempuan dianggap tidak memiliki peranan yang berarti. Perempuan baru dianggap melayani ketika ia berada dalam ranah domestik, padahal jika kita lihat dalam setiap kegiatan atau pelayanan di gereja justru perempuan yang memiliki peranan yang berarti. Kelompok mengutip pendapat Wu Fu Ya dalam artikelnya “Kaum perempuan dan Gereja”, mengemukakan bahwa dalam wawancara-wawancaranya, kebanyakan perempuan mengatakan, mereka yakin bahwa kaumnya telah banyak melakukan karya gerejawi. Malah pada umumnya sumbangan mereka lebih banyak daripada sumbangan laki-laki. Para istri yang tidak bekerja di luar rumah dalam usia antara 40-60 tahun khususnya, merupakan tulang punggung pelayanan gereja (Wu Fu Ya 1999, 224).
Kaum perempuan tidak hanya berpartisipasi aktif dalam berbagai pelayanan. Mereka pun sangat berkepentingan dengan kebutuhan finansial komunitas iman dan pelayanan. Selain itu, partisipasi perempuan dalam tingkat pengambilan keputusan yang lebih tinggi memang rendah. Pada tingkat Sinode jelas bahwa hanya segelintir perempuan yang dapat ikut serta dalam pengambilan keputusan. Bahkan perempuan merasakan bahwa mereka didiskriminasi dari rekan-rekan laki-laki mereka bila mereka mampu untuk berbicara. Melalui pemikiran Maria Claire dapat dikatakan bahwa perempuan memberikan sumbangsih besar dalam pengembangan pelayanan gereja. Semua itu dapat dilihat dari pengalaman perempuan yang membentu proses pelayanan gereja.

DAFTAR PUSTAKA
Barth, Marie Claire. 2006. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Wu Fu Ya. 1999. Kaum Perempuan dan Gereja. Dalam Berikan Air Hidup Itu. Persetia: STT Jakarta.














line-height: normal; margin-bottom: 0pt; text-align: left;