Senin, 18 Oktober 2010

--- TENTANG NURANI ---


Nurani itu…
Sesuatu yang nggak bakal bisa kita tutup-tutupin
Walau kecil, dia akan tetap berbisik
Cuma kadang-kadang, kita-nya aja yang nggak denger
Atau pura-pura budek.

Nurani itu…
Nggak akan bisa ditipu
Nggak peduli kita pake cara apa, gimana, kapan, dan sama siapa.
Karena dia murni
Dan dia nggak palsu.

Nurani akan selalu berusaha ngomong sama kita
Negur kalo kita salah
Ngingetin kita
Ngasih peringatan ke kita
Dan bikin kita nyaman saat kita ngelakuin sesuatu yang bener.

Tapi inget,
Nurani nggak bisa dibo’ongin
Karena dia adalah bagian terdalam dan tersejati dari kita
Nurani kita, ya diri kita sendiri.

Nurani nggak akan bisa dikibulin
Dengan perbuatan baik dan kata-kata manis
Karena dia selalu menyuarakan isi hati kita yang terdalam.
Motivasi kita, keinginan kita, alasan-alasan kita.

Kalo kita bersikap manis dengan sikap hati yang salah,
Itu namanya ngejilat.
Kalo kita berbuat baik dengan motivasi yang nggak bener,
Itu namanya nyogok.
Kalo kita ngomong yang bagus-bagus dengan ‘agenda’ terselubung,
Itu namanya muna.
Kalo kita berubah jadi ‘lebih baik’ tanpa disertai keinginan tulus dari hati, itu namanya palsu...

Tanya deh sama nurani kamu,
Hari ini, berapa kali kamu nggak dengerin dia?
Berapa kali kamu nyuekin dia?
Berapa kali kamu bilang ke dia, “ah tapi kan yang aku lakuin ini baik!”,
justru di saat dia ngomong, “tapi kan (sebut nama kamu), walaupun baik, motivasinya salah…”

Berapa kali kamu ngebungkam suara nurani kamu
Untuk ngedapetin yang kamu mau?
Berapa kali kamu nyuruh dia diem
Supaya dia gak ganggu-ganggu kamu lagi?
Berapa kali kamu ngebantah bisikannya
Demi mencapai keinginan kamu?

Kalo seandainya nurani bisa ngomong,
Mungkin dia bakal teriak:
“Plis dong dengerin aku.
Aku cuma pengen yang terbaik buat kamu.
Nggak lebih…”

Nurani adalah suara kecil yang berbisik
mengingatkan saat kita lupa,
menegur saat kita salah,
menenteramkan saat kita taat,
menguatkan saat kita ikuti,
dan diam saat kita membungkamnya…

MENGAPA BERTERIAK ?


MENGAPA BERTERIAK?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya;
"Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab;
"Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."

"Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya.
Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.

Sang guru lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harusberteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas.
Mengapa demikian?"

Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.
"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."

Pembenaran oleh Iman
Menurut Paulus

1. Dosa
Sebelum berbicara tentang pembenaran, perlu dimengerti apa pentingnya pembenaran itu. Kenapa manusia membutuhkan pembenaran? Dalam teologi Paulus, pada dasarnya seluruh manusia adalah berdosa. Dosa dalam pengertian Paulus adalah rusaknya relasi antara manusia denganTuhan dan perlawanan terhadap kehendak Allah (Whiteley 1970: 47). Dosa itu dimulai (atau mungkin lebih tepat ‘digambarkan’) dalam kisah Adam dan Hawa yang melakukan perlawanan terhadap kehendak Allah dan berakibat pada rusaknya relasi mereka dengan Allah (Kejadian 3). Dosa Adam dan Hawa ini yang kemudian 0tmembuat mereka harus menerima maut (dapat diartikan kehilangan relasi dengan Allah).
Bermula dari Dosa Adam itulah, maka seluruh dunia pun turut berdosa dan harus menerima akibatnya yaitu maut (Roma 5: 12). Harus diakui bahwa Paulus tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara dosa yang dilakukan oleh Adam dengan dosa yang universal (Ridderbos 1975:97). Namun demikian, dapat dikatakan bahwa tindakan dosa yang dilakukan oleh Adam telah mendorong seluruh dunia dan keturunannya untuk melakukan dosa yang sama, yaitu melawan kehendak Allah. Dengan begitu seluruh dunia pun layak mendapat hal yang sama dengan Adam akibat dari dosa itu, yaitu maut. Tetapi, bukan berarti setiap orang terlahir dengan membawa dosa, melainkan memiliki potensi untuk melawan Allah (Whiteley 1970: 51). Paulus percaya bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melawan Allah, bahkan sejak dari lahir.
Dalam Roma 5:12, Paulus menyatakan bahwa setiap orang akan mengalami maut karena telah berdosa. Hal itu ditegaskan pada ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa dosa itu sudah ada sebelum hukum Taurat diberikan. Namun sebelum ada hukum Taurat, dosa itu tidak dapat dituntut karena hukum itu sendiri belum ada (BIS). Walaupun pada masa antara Adam dan Musa belum ada Taurat, tetapi manusia tetap akan mengalami maut karena melakukan dosa. Perbedaannya adalah, dosa yang dilakukan sebelum adanya Taurat adalah dosa material, bukan dosa formal. Artinya, sebelum ada Taurat pun orang dapat berbuat dosa, tetapi bentuk dari dosa itu sendiri masih kabur. Sedangkan setelah ada Taurat, dosa itu bersifat formal, karena apa yang disebut dosa itu sudah dijabarkan di dalam Taurat. Jadi dapat dikatakan orang yang hidup di masa antara Adam dan Musa mengalami kematian “karena” Adam (Ridderbos 1975:96). Namun demikian, orang yang hidup pada masa setelah Musa pun tetap melakukan dosa walaupun telah diberikan hukum Taurat. Jadi Paulus memandang bahwa manusia itu berdosa dan membutuhkan sebuah pembenaran atau penyelamatan dari maut untuk dapat kembali berelasi dengan Allah.

2. Pembenaran
2.1 Pembenaran dalam tradisi Yahudi
Paulus menggunakan kata nomos merujuk pada hukum yang dipahami sebagai hukum Musa (Guthrie 1992: 349). Paulus tidak memakai kata nomos dalam bentuk jamak dan tidak pernah membandingkan hukum bangsa-bangsa lain dengan hukum orang Yahudi dan hukum itubersifat pribadi (misalnya Roma 3:19; 4:15; 1 Kor. 9:8).
Paulus melihat Taurat adalah suatu ungkapan anugerah Allah karena didasarkan pada janji Allah. Jika Taurat dilaksanakan, keselamatan pasti terjadi. Hal inilah yang menjadi janji Taurat. Tetapi Paulus mengetahui sepenuhnya bahwa tidak seorang pun yang pernah melaksanakan seluruh hukum Taurat, kecuali Yesus Kristus. Kelemahan utama Taurat adalah hanya dapat memperlihatkan bahwa orang sudah melakukan pelanggaran, dan tidak dapat menghidupkan (Gal. 3:21) (Guthrie. 1992: 353).
Dalam rangka menjelaskan fungsi Taurat masa kini, Paulus membuat penegasan tentang bagaiman hukum Taurat itu mengena dengan manusia sebagai pribadi:
1. Taurat membawa pengenalan akan dosa (Roma 3:20; 4:15; 7:7). Dalam arti ini Paulus melihat fungsi Taurat sebagai pengajaran. Taurat mengajarkan manusia bahwa dosa adalah penghinaan langsung terhadap Allah. Taurat menyatakan tuntunan Allah pada masa lalu, dan standarnya tetap berlaku. Tetapi pendekatan Kristen harus berbeda dari pendekatan PL dalam hal bahwa janji mengatasi Taurat. Pengenalan akan dosa masih tetap dibutuhkan, tetapi janji itu membawa jaminan penyucian yang harus dilakukan.
2. Taurat merangsang dosa. Dalam hal ini, Paulus mengatakan bahwa “Hukum Taurat ditambahkan supaya pelanggaran menjadi semakin banyak (Roma 5:20), dan supaya nyata ia adalah dosa…supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa (Roma 7:13). Kelihatannya seakan-akan Paulus sedang melukiskan Taurat sebagai sesuatu yang jahat, tetapi maksudnya justru sebaliknya. Dalam Roma 7:13 ia mengemukakan hasil yang buruk itu bukan kepada Taurat, melainkan kepada dosa yang memperalat Taurat untuk maksud-maksudnya sendiri (Guthrie 1992: 354).
3. Taurat itu bersifat rohani. Paulus mengemukakan jika Taurat membuat dosa lebih hebat lagi, itu bukan kesalahan Taurat, melainkan terletak pada manusia. Dosa tidak mungkin dirangsang jika manusia tidak bersifat daging. Fungsi sesungguhnya dari taurat adalah rohani, yakni mencapai hasil-hasil rohani, tetapi kegagalannya terletak pada ketidakmampuan manusia untuk memberi tanggapan terhadap Taurat.
4. Taurat itu memberatkan. Maksudnya seseorang yang melakukan hukum taurat wajib melakukan seluruh hukum taurat dan pelanggaran terhadap salah satu hukum Taurat dianggap sama dengan melanggar keseluruhannya.
5. Melalui tindakan melakukan Taurat orang tidak lagi memperoleh kebenaran karena menurut Paulus pembenaran datangnya dari iman dan bukan dari Hukum Taurat
6. Taurat adalah penuntun sampai Kristus datang. Maksudnya adalah Taurat bertindak sebagai penuntun sampai Kristus datang. Sebelum zaman iman, Paulus mengakui bahwa Taurat mempunyai fungsi untuk melindungi, tetapi bagi dia jelas bahwa orang beriman tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun (Gal. 3:25). Akan tetapi, fungsi ini tidak berlaku lagi bagi orang Kristen. Paulus tentu tidak bermaksud bahwa Taurat memimpin orang kepada Kristus, karena ungkapannya membuat jelas bahwa Kristus telah mengubah fungsi Taurat ini sebagai penuntun. (Guthrie 1992: 356).
7. Taurat berakhir di dalam Kristus. “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya” (Roma 10:4).
Pembahasan diatas telah menyoroti banyak ciri hukum Taurat yang tidak lagi berlaku dalam Kristus. Akan tetapi, hal ini bukan berarti Paulus ingin mencabut hukum Taurat itu secara total. Ia pun mempunyai penilaian yang positif atas Hukum Taurat dalam hal memahami mengenai kemerdekaan Kristen, sebagai berikut:
1. Taurat masih dianggap kudus. Hukum Taurat adalah kudus, dan perintahnya juga kudus, benar dan baik. Yang salah bukan Taurat, melainkan dosa yang menyalahgunakan Taurat (Jacobs 1992: 80).
2. Bagi orang-orang percaya Taurat mempunyai arti yang berbeda dari artinya bagi orang yang tidak percaya. Taurat tidak lagi dianggap sebagai hukum tertulis yang mematikan (2 Kor 3:6), tetapi didekati melalui roh.
3. Hukum Taurat digenapi dengan cara mengasihi. Pandangan Paulus bahwa kasih terhadap sesama menggenapi hukum Taurat, merupakan suatu pendekatan yang sama sekali berbeda dari legalisme dan member suatu dimensi yang sepenuhnya baru kepada pemahaman atas hukum Taurat itu. Kasih jenis hanya mungkin melalui Kristus. Dan ini merupakan dimensi yang sama sekali baru dalam memahami Taurat.
4. Orang Kristen wajib menjunjung tinggi hukum Taurat. Paulus menjelaskan hal ini dalam Roma 3: 31 di mana ia menolak pandangan bahwa iman membatalkan hukum Taurat.  Kristus dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Taurat tentang kurban atas nama umat-Nya, telah menggenapi Taurat, maka dalam arti itu Taurat telah dijunjung tinggi. Dengan cara yang sama, orang percaya menjunjung tinggi hukum Taurat lewat persatuannya dengan Kristus.
Berdasarkan hal tersebut, Paulus menegaskan kemerdekaan orang yang percaya kepada Kristus, yang tidak lagi berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah anugerah.

2.2 Pembenaran di dalam Kristus
            Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai pandangan Paulus terhadap kegagalan hukum Taurat untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Menurut Paulus keselamatan semata-mata hanya dihasilkan oleh iman. Paulus seringkali menggunakan kata pistis dalam arti kesetiaan Allah (Whiteley 1970:161) (Rm 3:3; 1 Kor 1:9; 2 Kor 1:18; 2 Tim 2:13). Paulus ingin menunjukkan bahwa Allah dapat dipercaya sepenuhnya untuk memenuhi janji-janji-Nya dan janji-janji itu pun dapat dipercaya tanpa ragu. Berdasarkan hal tersebut maka penggunaan kata pistis bagi iman manusia kepada Allah ini juga harus memperhatikan tanggapan dari iman iman itu sendiri, sehingga pistis tidak diartikan sebagai iman yang membabi buta (Guthrie 1996:235).
            Iman pada dasarnya berarti menerima amanat Allah, yaitu tanggapan manusia kepada pemberitaan Injil (1 Kor 1:21; Ef 1:13). Berita Injil merupakan suatu wujud nyata dari kasih karunia Allah yang menyelamatkan manusia – artinya bukan dari upaya manusia – tetapi Injil itu sendiri hanya memiliki kekuatan bagi orang yang beriman (1 Kor 1:18). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kristus menjadi objek iman dan Kristus menjadi berarti bagi seseorang hanya melalui iman. Iman inilah yang kemudian dijadikan Paulus sebagai dasar pengajarannya tentang pembenaran.
            Pembenaran merupakan suatu pencapaian hubungan yang benar antara Allah dengan manusia dan hal tersebut merupakan anugerah Allah yang hanya dapat diterima oleh manusia melalui iman. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus karya keselamatan Allah terjadi di dalam hidup manusia (Morris 1986:70). Oleh sebab itu, manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mendatangkan pembenaran tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan Yahudi – yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya – yang menekankan pada prestasi pribadi manusia untuk menghadirkan pembenaran bagi dirinya sendiri. Menurut Paulus, ketika manusia beriman kepada Kristus berarti manusia harus berhenti untuk percaya kepada dirinya sendiri.
Iman bukan sekadar tindakan awal untuk menerima karunia secara cuma-cuma dari Allah, melainkan mencakup suatu proses yang berkesinambungan sebagai hasil dari hubungan yang baru dengan Kristus. Hubungan yang baru tersebut dapat dilihat sebagai perbuatan iman yang berkelanjutan. Iman juga dapat dilihat sebagai pengikatan diri kepada kehidupan yang baru yang kualitas perwujudannya dapat berbeda-beda. Kualitas iman ini tidak hanya menyangkut persoalan individu tetapi juga komunal yang dialami oleh jemaat-jemaat pada saat itu (Brox 1992: 60-61).

3. Kesimpulan
Menurut teologi Paulus, semua manusia berdosa dalam artian memiliki potensi untuk dengan mudah melawan Allah. Bahkan dengan atau tanpa hukum Taurat sekalipun. Oleh karena itulah manusia membutuhkan suatu pembenaran untuk memperbaiki relasinya dengan Allah.
Dalam kaitan dengan hukum Taurat, Paulus menegaskan bahwa Taurat tidak salah, melainkan dosa yang menyalahgunakan hukum Taurat. Taurat tidak dapat menuntut suatu pendekatan terhadap kebenaran yang lain, tetapi pembenaran hanya dapat diperoleh melalui iman. Selain itu Paulus tidak dapat melihat Taurat sebagai anugerah (yang berada di bawah janji Allah) karena janji Allah tidak dibatasi oleh Taurat melainkan hukum Taurat ada untuk mencapai penggenapannya di dalam Kristus.
Pembenaran merupakan anugerah dari Allah – melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus – yang hanya dapat diterima oleh iman. Oleh sebab itu, pembenaran tidak dapat diperoleh melalui perbuatan ataupun prestasi pribadi melainkan hanya oleh kasih karunia Allah. Iman itu sendiri harus tercermin dalam tindakan manusia sebagai respon atas karunia Allah tersebut bukan sebagai upaya pembenaran diri.



Daftar Pustaka
Brox, Norbert. Memahami amanat Santo Paulus. Yogyakarta: Kanisius
Guthrie, Donald. Teologi perjanjian baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Jacobs, Tom. Iman dan Agama: Kekhasan Agama Kristiani menurut Santo Paulus dalam Surat     Galatia dan Roma. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Morris, Leon. 1986. New testament theology. Grand Rapids: Zondervan
Ridderbos, Herman N. 1975. Paul:an outline of his theology. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Whiteley, D.E.H. 1970. The theology of St. Paul. Great Britain: Oxford.


Oleh : Yanti Napitupulu, Tunggul Gumelar, Sosam Zebua
*Paper Kelompok 5 Teologi Perjanjian Baru, Semester 7, STT Jakarta*
Senin, 20 September 2010



AKAR BERSAMA: BELAJAR TENTANG IMAN KRISTEN DARI DIALOG KRISTEN-YAHUDI




            Membaca buku “Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi” karangan Hans Ucko yang diterjemahkan oleh Matin Lukito Sinaga, membuat saya memiliki satu kesimpulan bahwa buku ini hendak memaparkan suatu pemahaman mengenai titik temu antara Yahudi-Kristen yang diawali dengan titik tengkar mengenai pemahaman mengenai Yahudi. Timengenai titik temu ini dengan jalan dialog antara kedua agama tersebut.
            Dalam bukunya, Ucko mengangkat tema-tema yang menjadi titik temu antara Yahudi dan Kristen. Tema-tema tersebut mencakup: “Pewaris Akar Bersama”, “Pemilihan dan Tanah yang Dijanjikan”, “Identitas dan Panggilan Terhadap Umat Minoritas”, “Dengan Hadirnya Pihak yang Lain”, “Dalam Citra Allah”, “Kerajaan Sorga sebagai Suatu Pengakuan”, “Sang Mesias-Digugat Namun Ditunggu”, “Menciptakan Ruang Bagi yang Lain”. Setiap yang diangkat memaparkan mengenai titik tengkar mengenai kedua agama tersebut, di mana terdapat kesalahpahaman dalam memahami Yahudi sehingga menimbulkan citra yang salah mengenai agama tersebut. Akan tetapi, Ucko kembali mempertemukan setiap ide atau gagasan dari setiap agama tersebut.
            Mengutip kalimat dari salah satu bagian buku ini: “bertemu dengan sesama menjadikan kita melihat diri sendiri dengan cara baru. Dalam suatu perjumpaan yang sejati seseorang dapat belajar sama banyaknya tentang dirinya sendiri dan juga tentang sesama”, merupakan inti utama buku ini agar orang Kristen dapat ikut serta dalam gerakan ekumenis melalui dialog antara Yahudi dan Kristen. Dan dengan dialog yang dilakukan orang Kristen dapat belajar dan dapat merumuskan dirinya sendiri.
            Melalui pembahasan yang dipaparkan dalam buku ini, saya jadi teringat pada tipologi teologi agama-agama yang kita anut dan berkaitan dengan pola pandangan kita mengenai suatu agama. Apakah kita adalah orang yang ekslusif, inklusif atau pluralis. Dan Ucko, hendak memberikan suatu pemahaman teologi agama-agama yang menganut tipologi pluralis, bukan ekslusif maupun inklusif.
            Tipologi pluralis tampak dari setiap pemaparan yang dikemukakan oleh Ucko dan tipologi ini hendak menjadi pedoman dalam melakukan dialog antar agama. Dialog-dialog yang ada harus mampu mengikis habis titik-tengkar yang ada, sekaligus mengungkap titik-temu sebanyak mungkin dan menjadi suatu kewajiban semua pihak untuk melanjutkan semua dialog dan proses yang ada. Sehingga pertengkaran yang ada menjadi awal bagi perkenalan sejati satu sama lain dalam lingkup kehidupan damai, berdampingan dan penuh kekeluargaan.
            Buku ini menurut saya memberikan suatu pemahaman yang baru mengenai cara pandang dan berteologi kita saat ini. Akan tetapi, menurut saya ada satu bagian atau pembahasan lain yang perlu dipaparkan dalam buku ini, yakni mengenai agama Islam yang juga menjadi pewaris akar yang sama dari agama-agama Abrahamik. Sehingga kita dapat belajar juga mengenai agama-agama tersebut dan bagaimana melakukan dialog terhadap ketiga agama tersebut. Agar kasus seperti perusakan atau penutupan gereja bahkan samapi penusukan anggota jemaat tidak terjadi lagi. Dengan belajar dari dialog antara Kristen dan Yahudi juga bisa kita belajar untuk menerapkan dialog antar agama antara Islam dan Kristen di Indonesia, sehingga mendapatkan pemahaman yang tepat dari setiap agama-agama tersebut untuk mencapai suatu hubungan yang dialogis, saling menghormati dan saling melengkapi.


Khotbah Perdanaku


Nas Khotbah                           :  Lukas 17:11-19 tentang Sepuluh Orang Kusta
Tema dari Almanak HKBP       :  Bumi Penuh dengan Kasih Setia Tuhan
Sasaran Khotbah                    :  Remaja HKBP Menteng Lama, Halimun
Tujuan Khotbah                      :   
1. Remaja HKBP Halimun dapat berjuang dan bertindak dalam setiap pergumulan yang mereka hadapi dengan 
terus bersandar kepada Tuhan
2. Remaja HKBP Halimun dapat memahami kasih setia Tuhan dalam kehidupan
3. Remaja HKBP Halimun dapat berterimakasih (mengucap syukur) kepada Allah yang senantiasa penuh kasih 
setia kepada umat-Nya.

TAFSIRAN TEKS
Injil Lukas dituliskan untuk orang-orang non-Yahudi yang percaya, yang ditujukan kepada “yang mulia Teofilus ”.  “Theophilos”, harfiah “yang mengasihi Allah”. Maka, Lukas bisa menunjuk nama pribadi, bisa juga menunjuk kepada semua pembacanya dengan menyebut mereka “yang mengasihi Allah” Lukas 1. Lukas menggambarkan dalam tulisannya bahwa Tuhan Yesus mengasihi semua orang termasuk orang sakit, anak-anak dan perempuan malang, para janda, orang yang dikucilkan, orang asing dan orang-orang berdosa.  Dan pasal 17:11-19 ini termasuk dalam hal tersebut.
Dalam Lukas 17:11-19 terdapat pembagian kisah ini dapatsebagai berikut:[1]
17:11      à Yesus dalam perjalanan (sebagai pengantar).
17:12-14 à Kepercayaan sepuluh orang berpenyakit kusta.
17:15-19 à Karunia keselamatan bagi orang Samaria.
Ayat  11:
Untuk pertama kali perjalanan Yesus ini ke Yerusalaem di sebut dalam 9:51. Pada umumnya para ahli memandang 17:11-19:28 sebagai tahap ketiga perjalanan Yesus ke Yerusalem (tahap pertama: 9:51; tahap kedua: 13:22).[2] Di dalam ayat ini dikatakan bahwa tempat Yesus melakukan perjalanan-Nya adalah di perbatasan Samaria dan Galilea, hal itu menjadi sangat penting karena menyatakan bahwa Yesus ingin melintasi kota Samaria menuju Galilea. Karena Ia ingin melakukan menyatakan bahwa pelayanan yang akan Ia dilakukan tidak ada perbedaan, baik untuk antara orang Yahudi dan orang Samaria.
Ayat 12-13:
Ayat ini memiliki kaitan dengan ayat 11 bahwa baik orang Yahudi dan orang Samaria tidak ada perbedaan, karena mereka sama-sama menderita penyakit kusta. Sehingga hilanglah perbedaan antara orang Yahudi dan orang Samaria dalam golongan itu. Mereka harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediaman mereka.[3] Oleh karena itu, mereka memanggil Yesus dari jauh. Dengan demikian, kesatuan di antara mereka dan mereka mempercayai Yesus sebagai “Rabi” atau “Guru” yang mempunyai kekuatan ajaib untuk menyembuhkan mereka.[4]  Karena Yesus datang bukan untuk orang Yahudi saja, tetapi juga untuk orang Samaria. Hal ini berarti ada aspek universalisme. Bahwa Yesus datang untuk semua orang.
Ayat 14 :
Ayat ini memberikan penekanan pada tindakan yang kita lakukan demi mendapatkan kesembuhan, Sesuai dengan peraturan agama, Yesus menyuruh mereka pergi kepada imam (Lih. Imamat 14 : 2-32). Orang yang sakit itu harus melakukan aturan itu dan harus mau melakukannya. Dan mereka pun mempercayai dan pergi seperti yang diperintahkan oleh Yesus. Karena mereka mendengar, memperhatikan, melakukan perkataan Yesus.[5]  Dan tidak jauh lamanya, saat mereka di tengah jalan, mereka pun sembuh.
Ayat 15-16 :
Ada 3 sikap bagi orang yang mengenal Tuhan, yang telah mengalami kesembuhan, yakni:  bernyanyi, tersungkur, mengucap syukur.
Ayat 17:
Orang Yahudi tidak mengucap syukur dan berterimakasih kepada Yesus. Karena ada pandangan bahwa Yesus memang datang untuk mereka, jadi tidak usah berterimakasih kepada Yesus.
Ayat 18 :
Manusia itu mempunyai kebebasan. Oleh karena itu, Yesus bingung dan bertanya kepada orang Samaria mengenai 9 orang Yahudi tersebut. Di sini tampak kemanusiaan Yesus.
Ayat 19:
Imanmu yang menyelamatkanmu. Jika iman kita sudah bagus, kita tidak hanya disembuhkan tetapi diselamatkan. Sebab, iman tidak bisa menyembuhkan hanya menyelamatkan.

 ANALISA TEKS
1. Yerusalem dan Samaria
           Dalam teks ini muncul dua unsur yang berperanan penting dalam rangkaian kisah dan pengajaran yang mulai pada Lukas 9:51. Unsur yang pertama adalah perjalanan menuju Yerusalem, yaitu menuju demi keselamatan manusia. Unsurnya yang kedua adalah Samaria. Dalam PB, hanya Lukas dan Yohanes yang berbicara baik tentang orang Samaria. Di luar Yudaisme, orang-orang Samaria menjadi sasaran pertama pemberitaan Kristen. Lukas memandang mereka sebagai “ambang pintu” menuju pemberitaan universal.[6]
2. Penyakit Kusta dan Pengidap Sakit Kusta
            Penyakit yang disebutkan dalam teks ini disebutkan dalam Perjanjian lama dengann kata Ibrani zara’at yang berkenaan dengan suatu penyakit kulit tertentu atau barangkali merangkum bermacam-macam penyakit kulit. Semacam penyakit kulit yang berbercak-bercak mengerisik berwarna merah muda. Kata zara’at itu diterjemahkan ke dalam kata Yunani dengan kata lepra. Baik zara;at atu lepra dalam alkitab tidak dapat disamakan dengan penyakit lepra atau kusta saat ini.
            Pada masa Perjanjian Lama, orang yang menderita zaat’at atau lepra sangat didiskriminasikan (dibeda-bedakan). Mereka dikucilkan dari masyarakat dan dilarang masuk untuk ikut srta dalam ibadat dan upacara-upacara keagamaan. Sebab orang-orang sakit semacam itu dianggap sebagai orang-orang najis, yang tidak boleh lagi berhubungan dengan Tuhan dan dengan sesamanya manusia (Lih. Imamat 13:45-46). Diskriminasi itu bukan hanya berdasarkan ketakutan akan penularan, tetapi terdapat juga terutama dalam agama dan adat. Karena penyakit ini dianggap sebagai hukuman Allah karena dosa-dosa tertentu.[7] Apabila mereka ingin mendapat kesembuhan makan harus mengikuti peraturan dengan menghadap kepada imam (Imamat 14:2-32).
3. 9 orang Yahudi dan 1 orang Samaria.
            Yesus melakukan pelayanan-Nya tanpa memandang suku, ras, dan agama. Ia melakukan pelayanan kepada semua orang, baik yang beriman maupun orang Kafir. Ini terbukti dengan pelayanan yang Ia berikan kepada 10 orang kusta yang terdiri dari 9 orang Yahudi dan 1 orang Samaria.
4. Berdirilah dan pergilah !
            Kata berdiri/bangun pada umumnya bermakna biasa-biasa saja, tetapi di sini kiranya bermakna moral. Di taman zaitun Yesus berkata kepada muridpmurid-Nya, “bangunlah dan berdoalah!” (22:46). Hidup Kristen dapat diartikan sebagai perjuangan. Orang tidak dapat “berjuang” bila tidak “berdiri/bangun”. Kata pergilah dikaitkan dengan perjalanan Yesus. Ia sedang berjalan. Hidup Kristen didefinisikan oleh Lukas sebagai “jalan” (Kis. 9:2), sebab memang mirip jalan yang ahrus diikuti dengan penuh keterlibatan dalam persatuan dengan Yesus.[8]
5. Ada iman ada karunia keselamatan.
            Kisah tentang kesepuluh orang berpenyakit kusta ini ditempatkan oleh Yesus antara permohonan rasu-rasul dan pertanyaan orang Farisi mengenai kedatangan Kerajaan Allah. Dari satu pihak Yesus menggarisbawahi kekuatan Iman (yang menerima apa yang dimintanya dari Allah) dan perlunya mengabdi dengan rendah hati; apa saja yang diterima berkat iman adalah karunia semata-mata. Dari lain pihak, Yesus menyadarkan orang-orang Farisi bahwa kerajaan Allah di antara mereka; di mana ada Yesus tepatnya, di mana Yesus dapat memberikan karunia keselamatan karena adanya iman, di situlah pula ada Kerajaan Allah. Hal inilah yang dialami oleh orang Samaria bahwa imannya sebelum disembuhkan dan sesudah disembuhkan jelas berbeda, sebab sudah diperdalam, sehingga hasilnya pun istimea. Kesembilan orang lain disembuhkan oleh Yesus, tetapi orang Samaria diselamatkan pula.

POIN KHOTBAH YANG MAU DIANGKAT   
1. Hidup adalah perjuangan dan berserah kepada-Nya. Perjuangan di saat kritis! Sama seperti kesepuluh orang kusta yang berjuang untuk mendapatkan kesembuhan dari Yesus. Perjuangan yang itu harus dilakukan  secara terus menerus. Tidak berhenti dan mudah putus asa. Perjuangan yang dilakukan pun harus bersandar kepada Tuhan dan menyerahkan semua-Nya kepada Dia.
2. Tuhan Itu Maha Pengasih dan Penuh kasih Setia. Ia menyembuhkan semua orang tanpa melihat latar belakangnya, baik kedudukan, status sosial, ekonomi, agama, suku maupun ras. Ia menyembuhkan orang yang sakit, termajinalkan, bahkan orang yang tidak berterimakasih atas apa yang telah Ia lakukan kepada 9 orang kusta itu.
3. Belajarlah dari sikap orang Samaria yang tahu mengucap syukur dan berterimakasih.

TEKS KHOTBAH
“Berjuanglah dan Berterimakasihlah kepada Tuhan sebab Ia penuh Kasih Setia !!!”
Rekan-rekan yang terkasih, bagaimana perasaan kalian ketika menghadapi ujian sekolah? Baik ujian tengah semester, ujian akhir semester, bahkan saat ujian nasional tiba? Takut bukan ! Dan pastinya kita langsung berseru (berdoa) kepada Tuhan. Ya, Tuhan kasihanilah aku. Bantu aku. Ya, kata-kata itu yang sering kita ucapkan ketika ketika merasakan pergumulan yang berat. Apalagi saat ujian nasional tiba. Tidak terbayangkan bagaimana gugupnya kita, gelisahnya kita, dll.
Ternyata hal yang sama pun dialami oleh sepuluh orang kusta, namun dengan pergumulan yang berbeda. Kalau tadi kita bergumul dalam hal ujian, sepuluh orang kusta ini bergumul dengan penyakit yang mereka derita. Penyakit apa sih yang mereka derita? Penyakit ini bisa kita katakan dengan penyakit kusta. Namun bukan penyakit kusta yang kita pahami saat ini. Dahulu, tepatnya pada zaman Perjanjian Lama, penyakit ini merupakan kumpulan penyakit kulit yang dianggap najis pada masa itu karena dianggap sebagai hukuman karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Oleh karena itu mereka sangat didiskriminasikan. Mereka dikucilkan dan dilarang mengikuti ibadat dan upacara keagamaan. Dengan kata lain, mereka kehilangan hak mereka sebagai orang Yahudi.
Akan tetapi, di tengah penderitaan yang mereka alami, mereka berusaha untuk mendapatkan kesembuhan, sehingga mereka pun menghampiri Yesus untuk dapat menyembuhkan mereka. Sebab mereka percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan penyakit mereka. Dan hal itu terbukti. Bahwa mereka pun sembuh dari penyakit yang mereka derita selama ini. Namun, setelah mereka sembuh hanya ada satu orang yang mengucapkan terimakasih kepada Yesus. Orang yang mengucapkan terimakasih itu adalah orang Samaria. Sedangkan 9 orang lainnya yang adalah orang Yahudi tidak mengucapkan apa-apa.
Berdasarkan kisah tersebut, lantas poin apa yang dapat kita pelajari hari ini. Saya mencatat ada 3 hal penting yang perlu kita cermati. Pertama, kita harus berjuang dalam mengatasi setiap pergumulan yang kita alami dengan sebuah tindakan. Kalau dalam hal ujian, kita berjuang dalam mempersiapkan diri dan saat ujian tiba dengan tindakan rajin belajar bukan malas-malasan.  Dalam perjuangan kita ini pun, kita juga harus bersandar pada Tuhan. Mempercayai Tuhan bahwa Tuhan dapat menolong kita. Hal ini pun dialami sepuluh orang kusta tersebut, di mana mereka harus tetap berjuang dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang telah mengucilkan kita. Mereka berjuang agar mereka dapat diterima di masyarakat Oleh karena itu, mereka suatu mengambil tindakan, yaitu tindakan menghampiri Yesus dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Yesus. Oleh karena itu mereka sembuh. Sebab mereka berusaha untuk dapat sembuh dan usaha itu berhasil karena tindakan yang mereka lakukan.
Poin kedua adalah bahwa Tuhan itu penuh kasih setia bagi setiap ciptaan-Nya, termasuk kita, manusia. Ia sayang kepada kita. Ia mengetahui pergumulan kita. Ia tidak membeda-bedakan kita. Ia menolong siapa saja yang mengharapkan pertolongannya. Hal ini pun dilakukan oleh Yesus ketika melakukan pelayanan-Nya. Ia tidak memilih-milih tempat perjalanan yang akan Ia lalui dalam melakukan pelayanan-Nya. Justru Ia melewati perbatasan tempat orang Yahudi dan orang Samaria, di mana orang Yahudi dilarang bertemu ataupun bergaul dengan orang Samaria, karena orang Samaria telah melakukan perkawinan campur dan dianggap kafir oleh orang Yahudi. Yesus pun tidak memilih-milih orang-orang yang disembuhkan, dan yang ingin diselamatkan. Yesus pun tetap memberikan kesembuhan kepada orang yang tidak berterimakasih pada-Nya.
Sikap Yesus inilah yang menjadi tanda bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih setia. Bahwa Tuhan menunjukkan kasih setia-Nya terhadap kita umat-Nya. Seperti Ia tetap mengasihi kita walaupun kita sering melupakan Dia. Dari hal ini pun kita dapat mempelajari sikap Yesus, bahwa kita tidak boleh memandang setiap orang dengan sebelah mata, karena status sosialnya, suku, ras, dan agama. Kita  hidup dengan penuh kasih terhadap mereka. Baik itu orang yang sehat maupun sakit, tua dan muda, kaya maupun miskin, dll. Karena Tuhan penuh dengan kasih setia. Oleh karena itu, apapun pergumulan yang kita rasakan serahkanlah kepada Tuhan dan tetaplah bersandar kepada-Nya dengan keyakinan Ia akan menolong kita.
Hal ini pun yang dilakukan oleh sepuluh orang kusta yang memanggil Yesus dengan seruan “Rabi” atau “Guru” sebab mereka yakin bahwa Yesus akan menyembuhkan mereka. Begitupula seharusnya yang kita lakukan. Kita pun dapat berseru di dalam doa kita ketika masalah terberat apapun kita alami. Baik itu masalah di rumah, di mana kita sering berdebat dengan mama, papa mengenai cita-cita kita dan harapan mereka. Saat ada masalah di sekolah, saat-saat menegangkan ketika ujian akan tiba, saat berada dengan teman-teman, ketika kita ada masalah dengan teman, tidak usah malu mengungkapkan pada-Nya. Jangan ragu berdoa kepada Tuhan, sebab Ia tahu apa yang kita harapkan. Kalau kita sering merasa nyaman curhat dengan orang yang kita percaya, mengapa dengan Tuhan kita juga tidak bisa curhat? Oleh karena itu, jangan ragu. Jangan malu ! Yakinlah, Ia akan menjawab seruan kita.
Karena Tuhan sangat mengasihi kita dan telah menunjukkan kasih setia-Nya pada kita, lantas apa yang seharusnya kita lakukan sebagai wujud ungkapan syukur kita? Ya, berterimakasihlah kepada Dia ! Mungkin teman-teman di sini bertanya, mengapa kita harus mengucap syukur dan berterimakasih? Ya kita harus mengucap syukur dan berterimakasih karena Tuhan telah menolong kehidupan kita. Ia telah membuat kita dapat bertahan dan terus berjuang di tengah pergumulan yang kita hadapi. Selain itu, Ia juga sangat mengasihi kita. Ia penuh kasih setia kepada kita. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah kita mengucap syukur dan berterimakasih kepada Tuhan, atas setiap peristiwa yang kita alami, baik itu senang maupun susah.
Poin inilah yang merupakan poin terakhir yang saya kemukakan dan penting untuk kita pelajari. Bahwa kita harus berterimakasih kepada Dia yang telah mengasihi kita dan menyelamatkan kita. Jangan sampai kita menjadi sama seperti 9 orang Yahudi yang berpenyakit kusta tersebut, yang tidak tahu berterimakasih karena telah disembuhkan. Mereka menggangap bahwa karena diri mereka sendirilah mereka sembuh. Dan hal itu telah biasa kepada mereka, sebab mereka tahu bahwa mereka akan disembuhkan. Padahal mereka sembuh karena anugerah Allah yang diperintahkan oleh Yesus kepada mereka. Semoga saja kita tidak menjadi orang yang seperti itu.
Namun, teladanilah sikap orang Samaria yang tahu berterimakasih pada Yesus. Walaupun ia bukan orang Yahudi dan dianggap orang kafir oleh orang Yahudi, namun berkat pengajaran yang dibagikan 9 orang Yahudi ketika mereka masih menderita sakit, ia belajar untuk hidup mengucap syukur dan berterimakasih atas penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus. Hal ini dikarenakan adanya perubahan yang dialami oleh orang Samaria tersebut. Ia mengalami suatu keselamatan tersebar di dalam kehidupannya, karena ia tidak menyangka ia akan sembuh dan disembuhkan oleh Yesus.
Karena hal itu, Ia pun langsung menunjukkan suatu reaksi. Reaksi yang ia lakukan sebagai wujud ungkapan syukurnya. Yakni memuliakan Tuhan dengan suara nyaring (ayat 16), yang dapat kita katakan bahwa orang Samaria itu langsung bereaksi kegirangan, ia pun bernyanyi karena senangnya. Setelah itu ia tersungkur dan mengucap syukur. Reaksi yang dilakukan oleh orang Samaria merupakan ciri-ciri dari orang yang mengenal Tuhan. Orang yang mengenal Tuhan adalah orang yang percaya bahwa Tuhan adalah penolong kita, kita mau menaati perintah-Nya, mau disembuhkan dan diselamatkan dan tidak lupa mengucap syukur.
Di sinilah nilai lebih yang dimiliki oleh orang Samaria. Bahwa ia memiliki semua nilai tersebut dibandingkan 9 orang Yahudi yang hanya mempercayai namun tidak mengimaninya dengan wujud ungkapan syukur. Sikap orang Samaria inilah yaang perlu kita teladani dalam kehidupan kita. Jangan seperti orang  Yahudi yang lainnya. Yang tidak tahu mengucap syukur. Bahwa lebih tepat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan mereka seperti ungkapan “habis manis, sepah dibuang”. Saat mereka sakit dan menderita, mereka bersatu dengan orang Samaria yang mereka anggap kafir. Karena penyakit yang dialami sama maka mereka mau bersama-sama dengan orang Samaria tersebut dan berusaha mendapatkan penyembuhan dari Yesus serta berteriak-teriak kepada-Nya. Namun setelah mereka sembuh, mereka malah meninggalkan orang samaria tersebut. Dan paling mengecewakan lagi adalah mereka tidak mengucapkan terimakasih kepada Yesus yang telah menyembuhkan mereka.
Apakah kita mau dikatakan seperti itu, diibaratkan seperti ungkapan tersebut? Dikatakan seperti orang yang mau enaknya saja tanpa mau mengucapkan terimakasih. Tidak bukan ! Oleh karena itu, mengucap syukurlah ! Nyatakan hal itu dengan ucapan terimakasih. Terimakasih karena Tuhan masih memberikan kehidupan, memperlancar studi kita, memberikan orang-orang yang mengasihi kita, maupun membenci kita. Terimakasih karena Tuhan telah mengasihi kita dan menolong kita dalam setiap pergumulan kita. Dan berjuanglah senantiasa agar kita dapat melalui setiap hal yang kita rasakan itu dengan tetap terus bersandar kepada Tuhan yang selalu senantiasa penuh kasih setia kepada kita. Tuhan memberkati kita. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Boland, B.J. Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Leks, Stefan Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Tim Impola, Impola ni Jamita . Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2010.

Minggu, 18 April 2010
Oleh: Yanti Purnamasari Napitupulu
Mahasiswi Semester 6 STT Jakarta
Yang sedang mengikuti Mata Kuliah Latihan Khotbah 1


[1] Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 454.
[2] Ibid., 455.
[3] B.J. Boland, Injil Lukas (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 120.
[4] Ibid., 411.
[5] Tim Impola, Impola ni Jamita (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 2010), 225.
[6] Stefan Leks, Op. Cit., 453.
[7] Boland, Op. Cit., 121.
[8] Leks, Op. Cit., 462.