Sabtu, 21 Januari 2012

PERJUMPAAN HKBP DENGAN ISLAM

 

1.         Pendahuluan
            Berbicara mengenai perjumpaan, banyak aspek yang dapat diperbincangkan. Namun, dalam tulisan ini penulis hendak membahas tentang perjumpaan yang terjadi antara HKBP dan Islam. Apalagi di tengah maraknya peristiwa penutupan rumah ibadah yang terjadi saat ini, khususnya pada jemaat HKBP. Oleh karena itu, penulis hendak mengkaji perjumpaan tersebut berdasarkan sejarah dan pandangan HKBP mengenai Islam. Dan pada bagian akhir penulis juga memberikan kesimpulan dan refleksi teologis berdasarkan perjumpaann yang terjadi sehingga kita dapat melihat bagaimana perkembangan perjumpaan tersebut dan kita juga dapat merefleksikan perjumpaan tersebut dalam kehidupan antar umat beragama.




2.         Sejarah Perjumpaan HKBP dan Islam
            Sebelum tahun 1820, sebagian masyarakat Batak telah menganut Islam. Salah satu faktor yang membuat orang Batak masuk Islam adalah faktor ekonomis.[1] Hal ini dikarenakan pada masa itu, sebagian besar pedagang di pesisir timur Sumatera adalah kaum Muslim, sehingga untuk bisa meraih keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya, orang Batak akhirnya menerima Islam sebagai agama di tanah Batak. Akan tetapi, proses islamisasi di tanah Batak justru mulai gencar terjadi karena adanya invasi pasukan Paderi di bawah pimpinan Imam Bonjol dari Minang Kabau. Pasukan ini menerobos masuk ke tanah Batak sambil melakukan islamisasi dengan menggunakan kekerasan.[2] Setiap penduduk yang tidak bersedia menjadi Islam pasti akan mati dibunuh. Selain memaksakan agama mereka, kaum Paderi ini juga membakar dan merampok, merampas banyak budak dan memerintah dengan teror.
            Kekerasan yang dilakukan oleh kaum Paderi ini terjadi tidak hanya karena faktor politik dan keagamaan saja tetapi juga karena adanya motif balas dendam pribadi Tuanku Rao. Tuanku Rao adalah salah satu pemimpin invasi Paderi ke tanah Batak (1816). Nama sebenarnya Tuanku Rao adalah Pongki Nangolngolan Sinambela. Ia adalah keturunan Raja Si Singamangaraja ke-VIII dan ke-IX. Ayahnya (Gindoporang Sinambela) adalah keturunan dari Raja Si SingamangarajaVIII, saudari dari Si Singamangaraja IX, sedangkan ibunya (Gana boru Sinambela). Dengan kata lain terjadi insest antara paman dan kemenakan.[3] Karena dianggap sebagai aib keluarga, akhirnya Pongki Nangolngolan Sinambela disingkirkan dan akhirnya ia terdampar di Minangkabau. Di sana ia masuk menjadi Islam dan mendapat beberapa gelar baru: Muhammad Zainal Amiruddin, alias Umar Khatab, Tuanku Rao.[4]
            Tuanku Rao bersama Tuanku Lelo (Idris Nasution) memimpin invasi Paderi ke Tanah Batak khusunya di Tanah Batak Utara pada tahun 1818-1820. Penyerangan Paderi ini kemudian digunakan sebagai kesempatan untuk membalas dendam Tuanku Rao kepada masyarakat Batak. Penyerangan bersenjata dan munculnya penyakit pes akibat perang itu mengakibatkan hampir ratusan ribu orang Batak tewas. Pengalaman traumatik inilah yang membuat orang Batak melihat umat Islam sebagai momok yang menakutkan dan membuat masyarakat Batak mengalami kebuntuan di segala bidang, baik dalam kemasyarakatan maupun dalam kerohanian.[5] Keadaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan orang Batak kelak lebih memilih agama Kristen sebagai agama mereka.
            HKBP sebagai gereja tertua di Tanah Batak, Sumatera Utara lahir dari hasil penginjilan yang dilakukan oleh misionaris Belanda dan Jerman di tanah Batak. Sebelum Injil disebarkan di Tanah Batak, daerah ini sudah terlebih dahulu dimasuki oleh Islam, terutama di bagian utara (Karo), timur (Simalungun), selatan (Mandailing dan Angkola) dan barat (memanjang dari pantai Natal di selatan Sibolga hingga ke Barus dan Singkel di utara.
            Di daerah Tanah Karo dan Simalungun agama Islam justru dikenal melalui interaksi masyarakat Batak dengan masyarakat Melayu di daerah Langkat, Deli, Serdang dan Asahan yang sudah menganut Islam sejak abad ke-13. Melihat perkembangan Islam di daerah Simalungun, maka badan zending (khususnya RMG yang telah hadir sejak tahun 1861) kemudian melakukan penginjilan kepada masyarakat Simalungun dan penginjilan tersebut pun berhasil dilakukan.
            Oleh karena itu, RMG mulai melakukan penginjilan dan berhasil mengkristenkan penduduk yang sudah beragama Islam, termasuk para pemuka masyarakat. Pada tahun 1876, 10% penduduk daerah Sipirok telah menjadi Kristen dan diakhir abad ke-19 banyak orang Batak yang menganut agama Kristen (khususnya Tanah Batak Utara atau Toba) berbondong-bondong bermigrasi ke Sumatra Timur. Selain karena telah dibukanya jalan raya dari Tanah Batak ke daerah Sumatera Timur, migrasi ini juga terjadi karena pada saat itu di Sumatera Timur sedang banyak dibuka perkebunan (karet, tembakau, dll.) sehingga usaha perdagangan semakin berkembang. Kedatangan masyarakat Toba ini akhirnya menciptakan ketegangan dengan masyarakat Melayu (yang notabene beragama Islam) dan masyarakat lainnya yang merupakan penghuni tetap di wilayah itu. [6]
            Selain menyebar di wilayah-wilayah Sumatera, akhirnya sekitar tahun 1890 an mulai terlihat ada orang Batak di Jakarta. Mereka ini kebanyakan merantau karena dibawa oleh orang Belanda untuk diperkerjakan sebagai pembantu di Jakarta. Selain itu ada juga yang datang dari daerah Mandailing (orang Batak Islam) ke Jakarta untuk menjadi pedagang. Baru pada tahun 1910, beberapa pemuda dari daerah Angkola/Sipirok, Tapanuli tengah dan Utara yang menyelesaikan sekolah zending di Sumatera, datang ke Jakarta untuk bekerja sebagai juru rawat di rumah sakit C. B. S (sekarang RSUP), rumah sakit Cikini dan rumah sakit K.P.M di Petamburan. Kemudian sekitar tahun 1915-1920, jumlah pemuda Batak dari mandailing yang notabene beragama Islam, orang-orang Batak Kristen yang berasal dari Tapanuli Tengah dan Utara ini lebih sulit melebur dengan masyarakat Betawi yang bisa dibilang 100 % menganut agama Islam. Akhirnya jiwa “dalihan na tolu” (dongan sabutuha, hula-hula, anak-boru) terpaksa membentuk dan mempertahankan masyarakat Batak di Jakarta.[7]
            Karena belum adanya jemaat Batak yang berdiri di Jakarta, maka para pemuda Batak ini beribadah dari satu jemaat ke jemaat yang lain, seperti: Indische Kerk (Gereja Protestan di Indonesia), Gereformeerde Kerk (Gereja Kristen Indonesia), gereja Methodis dan gereja Katolik yang sudah berdiri di Jakarta pada waktu itu. Lama-kelamaan, jumlah orang Batak yang merantau ke Jakarta semakin banyak. Walaupun beberapa di antara mereka ada yang mampu berbahasa Belanda dan Melayu, akan tetapi masih banyak pemuda yang hanya bisa berbahasa Batak. Hal ini kemudian menyebabkan orang-orang Batak ini mulai mengusulkan diadakannya kebaktian dalam bahasa Batak sehingga mereka dapat memahami inti darri ibadah dan khotbah yang disampaikan.
             Akhirnya, pada tanggal 20 September 1919, orang-orang Batak ini mulai memindahkan kebaktian gang Chasse ke Bijbelschool (Sekolah Alkitab) di Pasar Baru. Inilah titik awal berdirinya HKBP di Jakarta. Kemudian pada tahun 1940, melalui keputusan sinode godang di Sipoholon, dibentuklah HKBP distrik IX yang mencakup pulau Jawa, Madura, Sumatera Selatan dan Singapura.[8] Akhirnya sejak saat itu gereja HKBP mulai berkembang hampir ke seluruh pelosok Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan sejarah ini membuktikan bahwa sejak jaman dahulu pun, HKBP telah berada dan berinteraksi dengan orang Islam dari budaya yang berbeda-beda.



3.         Pandangan HKBP Terhadap Islam
            Setelah melihat perjumpaan antara HKBP dan Islam dalam sudut pandang sejarah, pada bagian ini akan dipaparkan mengenai beberapa pandangan HKBP mengenai Islam yang tertuang dalam dokumen-dokumen HKBP, seperti: Pengakuan Iman/Konfesi HKBP dan Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja (RPP).
            1. Pengakuan Iman/Konfesi HKBP
            Dalam pengakuan Iman (Konfesi) HKBP 195 dikemukakan bahwa hanya dua agama yang ada di sekelilingnya, yaitu animisme dan Islam. Dalam pengakuan Iman HKBP versi bahasa Indonesia dijelaskan mengenai ajaran animisme dan Islam, sebagai berikut:
Animisime dan Islam adalah jelas bahwa ajaran golongan-golongan ini bisa datang di dalam bentuk lain daripada keagamaan saja. Peninggalan dari agama animisme masih terdapat di dalam jiwa banyak orang dan peninggalan ini masih merupakan akar pohon besar yang telah rubuh, tetapi akarnya belum dicabut seluruhnya dari tanah tempatnya bertumbuh.[9]
            Pengakuan ini tampak begitu kabur, tidak jelas digambarkan bagaimana pandangan dan sikap HKBP terhadapa agama ataupun ajaran-ajaran tersebut. Akan tetapi, jika kita melihat dalam versi bahasa Batak, terlihat jelas bahwa HKBP menyatakan bahwa ajaran Animisme dan Islam memang menyimpang dari ajaran Alkitab. Berikut teks bahasa Batak yang dimaksud dan arti harfiahnya:
Ha-Sipelebeguon dohot ha-Silomon na humaliang hita. Tung na manimbil do poda nasida sian Bibel i; jala apala pajorbuthon, ala marrupa na asing i nasida ro mandapothon Hurianta. Tung bagas dope marurat pasipasi ni ha Sipelebeguon i di roha ni rorop ruas ni Hurianta, songon urat ni hau bolon na manorusi, tano hatubuanna.[10]

Artinya:

Animisme dan Islam yang berada di sekeliling kita adalah benar telah menyimpang dari ajaran Alkitab; dan yang sangat berbahaya adalah bahwa dalam keasingannya mereka datang dalam jemaat kita. Namun, pengaruh atau sisa-sisa Animisme tersebut masih tetap berakar dalam hati banyak warga jemaat dan peninggalan ini masih merupakan akar pohon besar yang telah rubuh, tetapi akarnya belum dicabut seluruhnya dari tanah tempatnya bertumbuh.[11]
            Pada tahun 1996, HKBP kembali merumuskan pengakuan Imannya. Pengakuan Iman HKBP 1996 dibuat bukan untuk memperbaharui, mengubah atau menyambung Pengakuan Iman HKBP 1951. Pengakuan ini dituliskan kembali agar isinya lebih disesuaikan dengan masa kini. Beberapa jawaban yang tidak ada dalam Pengakuan Iman tahun 1951 kemudian ditambahkan, seperti: tentang manusia (pasal 3), masyarakat (pasal 4), kebudayaan dan lingkungan hidup (pasal 5). Dalam pengakuan ini tidak ada lagi pernyataan tentang ajaran-ajaran lain yang dituliskan dalam Pengakuan Iman 1951.
            Munculnya Konfesi HKBP tahun 1996 telah menunjukkan pergeseran dari sikap ekslusif ke arah keterbukaan yang kreatif dan positif. Willem T.P Simarmata menegaskan bahwa dalam Konfesi HKBP 1996 tidak dicantumkan lagi agama dan aliran kepercayaan yang dipahami sebagai sumber ajaran sesat dan acaman bagi HKBP.[12] Akan tetapi, jika diperhatikan dalam Pengakuan Iman HKBP 1996 terdapat satu pernyataan sebagai berikut:
Demikian halnya dengan kelahiran Pengakuan Iman HKBP pada tahun 1951. Ketika muncul aneka ragam bahaya kerohanian yang mengancam gereja, yang datang dari agama lain, dari ajaran keduniawian, dari suara-suara pemecah-belahan dan dari pengacau di tengah gereja itu sendiri. Pengakuan Iman HKBP menolak semua ajaran yang membahayakan itu, sehingga dengan demikian nyatalah pengaruh baik Pengakuan Iman itu terhadap kehidupan kerohanian gereja.[13]
            Berdasarkan kedua isi Pengakuan Iman HKBP (1995 dan 1996) dapat disimpulkan bahwa HKBP secara umum belum dapat mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain karena ajaran-ajarannya tidak sesuai dengan Alkitab dan menganggap agama-agama lain itu menyimpang. Dengan demikian, dalam arti ini Islam juga dianggap sebagai bagian dari agama-agama yang menyimpang.
            2. Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja (RPP)
            Dalam buku Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja)     juga memberikan pandangan dari HKBP terhadap Islam yang menyatakan:
Pasal IV: 1. L

            Sitingtinghonon do na so etongon be rus ni hurianta halak na marsaripe di balian ni huria, na marsaripe holan na marhite catatan sipil, manang ala parugamo na asing hamuliana, manang niolina umbahen diulahon songon i (ida 1 Kor. 7:12-13, 39). Alai tarjalo do nasida mulak tu huria dung jolo ditolopi rapot ni parhalado jala dung marguru manopoti.[14]
            Artinya:

            Harus diwartakan warga jemaat yang menikah di luar gereja atau menikah hanya di catatan sipil, entah karena suami atau istrinya menganut agama lain sehingga mereka berlaku seperti itu bahwa mereka bukan lagi menjadi warga jemaat kita. Tetapi, mereka dapat kembali menjadi warga jemaat apabila mereka telah digembalakan yang didasari pada pengakuan dosa dan telah disetujui dalam rapat Majelis Jemaat.[15]
            Pasal IV: 1. Q

            Boido pasahaton pasu-pasu parsaripeon, molo masihaholongan anak/boru ni huria tu boru/anak na ro sian na asing i gabe Kristen marhite-hite na manjalo pandidio na badia. Alai ingkon tandatanganan do parjanjian, paboa na rade ibana manorushon parguruanna, dung sidung pamasu-masuon i.[16]
            Artinya:

            Pemberkatan nikah dapat dilakukan, jika putra/putri jemaat yang datang dari agama lain bersedia menjadi Kristen dan telah menerima baptisan kudus. Tetapi, ia harus menandatangani surat perjanjian terlebih dahulu untuk menyatakan bahwa dirinya bersedia untuk meneruskan pelajarannya setelah pemberkatan nikah dilakukan.[17]
            Dua poin dari Peraturan Penggembalaan dan Siasat gereja tersebut menjelaskan bahwa pemberkatan pernikahan dalam HKBP hanya dapat dilakukan kepada pasangan yang sama-sama beragama Kristen dan tidak untuk pasangan yang berbeda agama. Dengan demikian, Konfesi dan Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja HKBP secara jelas mengungkapkan bahwa HKBP tidak mengakui adanya kebenaran dalam agama-agama lain dan menganggap agama lain itu menyimpang sehingga mereka harus menjadi Kristen terlebih dahulu.


4.         Kesimpulan dan Refleksi Teologis
            Sejarah perjumpaan antara HKBP dan Islam dimulai terlebih dahulu dengan perjumpaan orang Batak dengan Islam yang dimulai pada Perang Paderi. Penyerangan bersenjata dan munculnya penyakit pes akibat perang itu mengakibatkan hampir ratusan ribu orang Batak tewas. Pengalaman traumatik inilah yang membuat orang Batak melihat um at Islam sebagai momok yang menakutkan dan membuat masyarakat Batak lebih memilih agama Kristen sebagai agama mereka.
            Perjumpaan HKBP dengan Islam juga didasari pada  pandangan HKBP mengenai Islam yang terdapat dalam buku Pengakuan Iman/Konfesi HKBP dan Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja. Penulis menyimpulkan bahwa HKBP bersifat ekslusif karena HKBP menolak kebenaran dalam agama lain dan menganggap agama lain itu (dalam hal ini agama Islam) menyimpang/sesat sehingga HKBP tidak mau berkompromi dengan hal tersebut). Padahal jika dikaitkan dengan visi dan misi HKBP: “Mewujudkan HKBP yang Inklusif, Dialogis, dan Terbuka”, pandangan ini jelas tidak relevan. Sebab dalam peraturan HKBP yang ada selama ini tidak pernah dipaparkan secara jelas tentang bagaimana orang Kristen (HKBP) berkomunikasi dengan orang yang beragama lain. Oleh karena itu, aturan HKBP seharusnya dirumuskan dengan memperhatikan hubungan warga gereja dengan sesamanya dan dengan dunia.
             Berdasarkan hal ini, penulis teringat pada pemikiran S. Mark Heim yang merupakan seorang teolog agama-agama. Heim mengatakan bahwa perbedaan tiap agama disebabkan oleh perbedaan konsep “keselamatan” atau jalan akhir yang dituju oleh masing-masing agama. Orang Kristen yang memercayai surga akan pergi ke surga, sedangkan orang Buddhis yang memercayai Nirvana akan mendapatkan Nirvana, dan seterusnya. Dengan demikian, “keselamatan” tidaklah singular melainkan plural. Setiap agama memiliki jalannya masing-masing menuju tujuan akhirnya. Oleh karena itu diperlukan suatu dialog antar iman yang dapat menjembati perjumpaan dengan agama lain.
            Dialog yang dilakukan adalah sebuah percakapan yang dilakukan secara terus menerus antara partisipan-partisipan yang tidak mengungkapkan hal yang sama dan yang mengenal serta menghargai perbedaan, tidak juga mempersalahkan kontradiksi di antara berbagai cara berpikir mereka. Setiap agama seharusnya tidak berpikir bahwa ada sesuatu yang baru atau radikal dalam perilaku terbuka terhadap penganut kepercayaan lain. Dialog antar iman dilakukan karena kita menyakini bahwa Allah yang sama juga hadir dalam setiap agama-agama yang ada.
            Alkitab juga secara jelas mengungkapkan semuanya ini. Misalnya dalam Maleakhi 1:11 yang mengungkapkan: “sebab dari terbitnya dan sampai terbenamnya matahari nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, dan di setiap tempat dibakar dan dipersembahkan koraban bagi nama-Ku dan juga korban sajian yang tahir; sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, Firman Tuhan semesta alam.” Hal ini berarti bahwa Allah yang sama ada di antara bangsa-bangsa dan Dialah yang disembah di sana. Dengan demikian, setiap penganut agama menyadari bahwa dialog antar iman merupakan cara terbaik untuk memahami satu dengan yang lainnya.










DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Jan Sihar. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
Gultom, Gomar (ed.),  Menggapai Gereja Inkslusif. Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004.
Pakpahan, C. Sejarah HKBP dari Batavia/Jakarta Sampai di Pusat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Pengakuan Iman Huria Kristen Batak Protestan 1951 dan 1996. Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2000.
Ruhut Parmahanion don Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan. Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1987.
Sidjabat, W. B. Riwayat HKBP Jakarta. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1975.



[1] Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 106.
[2] Ibid.
[3] Ibid., 107.
[4] Ibid.
[5] Ibid., 108.
[6] Aritonang, 101-111
[7] C. Pakpahan, Sejarah HKBP dari Batavia/Jakarta Sampai di Pusat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 2-4.
[8] W. B. Sidjabat, Riwayat HKBP Jakarta (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1975), 1-15.
[9] Pengakuan Iman Huria Kristen Batak Protestan 1951 dan 1996 (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2000), 35.
[10] Ibid., 17.
[11] Ibid., 35 sekaligus terjemahan sendiri.
[12] Willem T.P Simarmata, “Mewujudkan HKBP yang Terbuka dan Dialogis”, dalam Gomar Gultom (ed.),  Menggapai Gereja Inkslusif (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2004),  328.
[13] Pengakuan Iman HKBP, 99.
[14] Ruhut Parmahanion don Paminsangon di Huria Kristen Batak Protestan (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1987), 22.
[15] Terjemahan penulis.
[16] RPP, 23.
[17] Terjemahan penulis.