Selasa, 24 Januari 2012

MENGKHAYAL, BERMIMPI, MERENUNG DAN BERTINDAK !


SUATU PERMENUNGAN DIRI:
SEKADAR BIOGRAFI SINGKAT SEBAGAI UPAYA UNTUK BERTEOLOGI


  • Masa Kecil hingga Akhir SMA
            Jakarta, 05 Februari 1988, jam lima pagi ibu saya berjuang untuk melahirkan saya. Perjuangan ibu saya dalam melahirkan saya cukup besar karena ketika saya dilahirkan, ibu saya berjuang melahirkan saya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Cukup menarik memang, mendengar kisah kelahiran saya ini, tapi cukup bermakna juga. Ketika ibu saya merasa bahwa sudah waktunya saya lahir, ayah saya pun segera membawa ke bidan, karena rumah sakit jauh dari tempat tinggal kami. Tepat jam tiga pagi mereka sudah sampai di rumah bidan tersebut. Kemudian ibu bidan mengatakan bahwa ibu saya belum saatnya melahirkan. Ibu saya disuruh istirahat dengan tidur atau jalan-jalan di sekitar rumah bidan tersebut. Mendengar hal tersebut, ibu saya pun menyuruh ayah saya untuk pulang ke rumah, untuk menjaga kakak dan abang saya yang mereka tinggalkan di rumah. Ibu saya pun mengikuti nasihat bidan dengan jalan-jalan di rumahnya. Karena lelah, ibu saya pun istirahat.
            Ketika jam menunjukkan pukul setengah lima subuh, ibu saya tidak kuat lagi menahan saya yang hendak lahir. Ibu saya pun berteriak, tapi tidak ada sahutan dari ibu bidan. Tepat pada jam 5 pagi ibu saya pun melahirkan saya dengan sendiri. Ketika separuh tubuh saya keluar, datang ibu bidan dan melihat ibu saya melahirkan sendiri. Kemudian ibu bidan pun melanjutkan proses kelahiran saya karena jika terlambat sedikit saja saya akan meninggal karena ketika ibu saya melahirkan saya sendiri, saya tidak menangis. Akhirnya dengan ditepok oleh ibu bidan saya pun segera berteriak dan menangis.
            Untuk mengenang peristiwa tersebut saya pun diberi nama Yanti, mengenang ibu bidan tersebut yang bernama Yanti. Harapan ibu saya adalah kelak saya menjadi seorang bidan ataupun orang yang berguna untuk orang lain, senantiasa dapat memberikan pertolongan ketika orang lain membutuhkan pertolongan. Padahal dulu, sebelum saya mengetahui sejarah asal usul nama ini, saya sangat tidak suka dipanggil seperti itu, karena dalam keluarga saya hanya saya yang dikasih nama mirip dengan nama orang Jawa (pemikiran saya pada waktu kecil). Saya lebih menyukai dipanggil dengan sebutan “anti” ataupun dengan nama “riama” (nama kecil dari nenek, yang akhirnya tidak tertuang dalam akte kelahiran karena nama tersebut muncul setelah akte kelahiran saya jadi). Kemudian ayah saya menambahkan nama saya dengan Purnamasari, dengan harapan kelak saya akan menjadi superstar (orang yang berprestasi dalam tarik suara seperti Ita Purnamasari). Begitu banyak khayalan dan impian dari kedua orangtua saya mengenai asal usul nama tersebut.
            Khayalan itu pun secara tidak sadar juga terjadi dalam kehidupan saya. Ketika saya masih kecil, saat usia saya lima tahun, saya bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta. Namun, saya masih belum bisa mengatakannya ketika ditanya apa cita-citsaya. Saya masih belum mengerti arti cita-cita itu. Saya hanya dapat berkhayal dan mengatakan, “jika nanti saya sudah besar dan sukses, saya hanya ingin membuat keluarga saya bangga terhadap saya dan membuat mereka bahagia”. Kata-kata itu pun melekat hingga saya beranjak menuju bangku sekolah saat di SD. Agak bermimpi memang untuk mewujudkan khayalan saya tersebut. Akan tetapi, jika setiap orang yang menanyakan apa cita-cita saya berkata demikian. Namun, dalam usia beranjak remaja, saat SMP hingga SMA, cita-cita saya tersebut mulai saya konkritkan dalam suatu jenis profesi pekerjaan, yakni menjadi seorang dokter, pilot, dan polisi. Saya mulai berusaha mewujudkan khayalan saya tersebut dengan sebuah andaian ataupun mimpi kelak saya akan menjadi salah satu dari yang saya impikan tersebut.
            Akhirnya, saya pun merenung. Entah mengapa saya memilih ketiga jenis pekerjaannya itu, yang saya sadari adalah ketiga pekerjaan tersebutlah yang mencerminkan tentang kesuksesan. Namun, diakhir SMA saya menyadari bahwa cita-cita itu bukanlah suatu profesi, melainkan suatu harapan atau impian yang hendak diraih untuk saya sendiri melainkan juga untuk sesama. Saya pun mulai memberanikan diri untuk mengatakan bahwa diri saya terpanggil untuk menjadi pelayan Tuhan yang hendak melayani sesama di dunia ini, juga berdasarkan mimpi dan khayalan saya pada saat itu. Saya berandai-andai, gimana ya kalau nanti saya jadi pendeta..hm,,saya ingin menjadi pendeta!”, khayalan saya saat itu.
           
  • Masa-masa Pergumulan dan Permenungan:
Perjuangan Masuk STT Jakarta, 1 tahun menganggur setelah Tamat SMA)
            Masuk kuliah di STT Jakarta merupakan suatu mimpi buat saya dan keluarga saya. Bagaimana tidak, saya yang notabene diprediksikan akan menjadi seorang guru, bidan, atau perawat, ternyata memilih untuk masuk di STT Jakarta. Memang, pada saat SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) angan-angan saya terlampau besar saat itu, saya memilih pilihan IPC (bisa IPA dan IPS) dengan harapan bisa masuk ke jurusan yang saya inginkan ternyata tidak terpenuhi. “Ya ialah, ujar teman saya saat itu. Bagaimana bisa masuk kalau pilihan kampus yang kau pilih itu, pilihan kampus terbaik”, ujar seorang teman pada saya saat itu. Memang saya pada saat SPMB itu memilih jurusan Teknik Industri UI, jurusan Kesehatan Masyarakat UI dan jurusan Matematika UNJ, yang rata-rata daya masuk untuk SPMB saat itu berkisar 15-25 orang se-Indonesia. Cukup membuat saya patah semangat sehingga ketika saya mengikuti ujian seleksi masuk STAN tidak begitu bersemangat dan saya pun pasrah jika tidak terima. Saya pun enggan mencari tahu apakah saya diterima atau tidak dalam ujian STAN tersebut karena saat pengumuman, sistem informasi yang dipublikasi melalui internet pada hari itu tidak berjalan dengan baik dan salah satu caranya adalah dengan melihat langsung hasilnya di kampus STAN itu sendiri. Saya jadi tambah kurang bersemangat dan akhirnya bisa menerima kalau saya tidak masuk (padahal saya belum tahu hasilnya dan melihat secara langsung). Saya malas melihat hasil tersebut karena lokasi kampus yang jauh sekali dari rumah saya.
            Akan tetapi, sebulan dari hasil pengumuman STAN itu saya terkejut karena ketika saya mampir ke SMA saya dulu saya bertemu dengan seorang guru (Bu MH) yang sudah menjadi seorang ibu pada masa SMA. Bu MH mengucapkan selamat kepada saya karena saya ternyata diterima di STAN. Saya pun kaget mendengar berita tersebut. BU MH pun menunjukkan surat pemberitahuan bahwa saya masuk di kampus tersebut. Saya pun segera menelepon pihak kampus tersebut dan menanyakan mengapa surat saya tidak sampai ke rumah saya. Ternyata saya salah menuliskan kode pos rumah saya dan yang sampai di sekolah saya itu merupakan alternatif surat yang saya tulis. Bu MH pun tidak tahu kalau surat yang diterima di sekolah saya itu tidak sampai juga ke rumah saya. Beliau kira surat itu hanya surat tembusan saja untuk memberitahu bahwa saya diterima. Bu MH saat itu pun mencoba menenangkan saya karena saya tidak mempunyai kesempatan lagi untuk daftar ulang karena besok masa Ospek telah dimulai. Cukup berkecil hati memang, tapi saya mengikhlaskannya. 
            Saat pun mulai merenungkan perjalanan masa depan saya. Saya tidak mungkin memaksa orangtua saya agar saya tetap kuliah pada waktu itu karena saya sadar bahwa kami bukanlah orang yang kaya. Orangtua saya hanya mampu membiayai sekolah saya jika saya masuk perguruan tinggi negeri. Saya pun sadar. Akhir saya tetap melanjutkan pekerjaaan saya yang sudah saya geluti semenjak SMA, yaitu menjadi pengajar les privat. Tuhan memberikan jalan karena saya dan teman-teman saya akhirnya bisa membentuk bimbingan belajar (privat) yang dibayar dari bimbingan belajar gratis (Study Club) yang saya geluti saat itu. 
            Kembali lagi pada masa itu saya berkhayal dan terus bermimpi suatu kelak saya pasti akan kuliah. Saya pun mulai bergumul dan berusaha mendapatkan jawaban dari setiap mimpi yang alami saat itu.Saat itu saya mimpi bertemu dengan sosok pria tua berjubah dan berjenggot putih (beberapa orang menafsirkan sosok itu adalah Tuhan) dan saya diajak untuk mengikut dengan-Nya. Agak aneh memang, mimpi itu tapi mimpi itu terus hadir dalam tidur saya selama dua minggu. Saya yang juga aktif dalam pelayanan gereja dan dibeberapa komunitas tumbuh bersama (KTB) di rumah berusaha mencari tahu dengan menanyakan hal itu kepada pendeta dan kakak rohani saya. Jawaban yang saya dapatkan adalah bahwa saya dipanggil oleh Tuhan untuk menjadi hamba-Nya.
            Saya kaget. Saya pun mulai bergumul dan merenungkannya dalam hidup saya. Saya ingat akan khayalan yang saya sejak kecil bahkan saat SMA pernah saya impikan. Akhirnya selama 6 bulan menganggur setelah tamat SMA, saya pun segera memberitahu orangtua saya kalau saya ingin menjadi seorang pendeta. Hampir sebagian besar keluarga kaget dengan apa yang menjadi keputusan saya. Orangtua saya tidak menyangka saya akan mengambil keputusan tersebut. Mereka bimbang, karena mereka tidak memiliki uang untuk menyekolahkan saya di kampus swasta.
            Saya pun segera mengumpulkan tabungan yang selama ini saya dapatkan dari hasil mengajar sebagi seorang guru privat. Saya pun segera mencari informasi mengenai kampus atau sekolah pendeta. Setelah berdiskusi dengan pendeta saya ia memberikan masukan agar kuliah di STT Jakarta. Saya pun segera memberi formulir pendaftaran pada saat itu (Desember 2006). Saat tahun baru saya pun segera memberanikan diri untuk mengatakan bahwa saya terpanggil untuk menjadi seorang pendeta. Entah apa yang ada dibenak saya pada saat itu, saya yakin sekali dan merasa bahwa biaya bukanlah menjadi masalah, yang penting tes dulu. Orang tua saya pun sudah mulai menerima permohonan saya karena pada saat itu, amangboru (paman) saya yang dari Siantar datang ke rumah kami. Paman saya pun menanyakan kemana saya akan melanjutkan sekolah. Dan dengan spontan saya mengatakan bahawa saya ingin kuliah di sekolah pendeta. Mendengar hal itu, paman saya pun memberikan apresiasi kepada saya dan berjanji akan membantu biaya kuliah saya jika saya mau kuliah di STT HKBP. Saya pun berpikir ulang, karena takut merepotkan orangtua saya karena saya jauh dari mereka. Akhirnya paman saya pun membebaskan saya memilih dan berusaha menyakinkan orangtua saya agar mengijinkan saya kuliah di sekolah pendeta.
            Ketika masa ujian seleksi penerimaan masuk STT Jakarta tiba, daerah rumah kami kebakaran dan barang-barang yang saya bawa hanya satu tas yang berisi Alkitab, baju untuk tes, kertas karangan masuk ke STT Jakarta, dan kartu ujian. Ibu saya heran karena cuma itu saja yang saya bawa. Untunglah rumah kami tidak kena terbakar. Kemudian ibu saya meihat isi tas saya tersebut dan membaca kertas karangan saya. Ibu saya pun menangis dan memeluk saya. Ibu saya pun mengatakan kalau ia mengijinkan saya masuk ke sekolah pendeta. Ibu saya tersentuh membaca surat karangan saya tersebut karena saya menulis bahwa segala upaya yang diharapkan oleh orangtua saya selalu saya penuhi terutama dalam SPMB dan tes STAN, saya melakukan itu semua karena ingin membahagiakan kedua orangtua saya dan tidak selalu dianggap remeh oleh oranglain karena kami orang yang tidak mampu. Dengan prestasilah saya hanya dapat membuat kedua orangtua saya dilihat orang.
            Akhirnya kedua orangtua saya pun bekerja keras untuk membiayai uang kuliah setelah saya diterima di STT Jakarta. Saya menolak untuk tes ujian lagi di STT HKBP oleh paman saya, karena saya tidak mau menambah biaya orangtua saya karena jauh dari mereka. Walaupun akhirnya paman saya tidak jadi membiayai saya untuk studi di sana, saya tidak bersedih hati karena Tuhan telah menyediakan saluran berkat yang lain untuk saya. Paman saya yang lain, akhirnya membantu biaya masuk saya di STT Jakarta, dan ia tak lama kemudian meninggal di laut karena pekerjaannya. Dan saat itu saya menjadi putus asa. Akan tetapi, saya mengingat nasihat ibu saya yang mengatakan supaya saya jangan menyerah, Tuhan itu Maha Kuasa yang selalu mencukupkan apa yang kita inginkan. Kata-kata itu pun yang akhirnya memotivasi selalu dalam menjalani perkuliahan di STT Jakarta ini. Saya tidak takut untuk mengkhayal atau bermimpi, tapi saya juga tidak seenak-enaknya hanya berkhayal atau bermimpi, melainkan juga mau bekerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. 


  • Masa-masa di STT Jakarta (4,5 tahun lamanya)
            Ketika saya masuk di STT Jakarta, motto yang selalu saya ucapkan pada diri sendiri adalah: "jangan takut berkhayal dan bermimpi, Yanti, raih khayalan dan mimpi itu dengan kerja keras!". Memang, saya sangat senang berkhayal dan bermimpi. Saat saya masuk, saya berkhayal ketika saya tamat nanti minimal saya menjadi lima besar ataupun lulus dengan clum laude. Tapi saya tidak mau hanya berkhayal saja tanpa suatu kerja keras. Empat setengah tahun lamanya menjalani pengalaman di STT Jakarta membuat saya memiliki modal yang cukup besar bagi kehidupan saya terlebih membentuk karakter saya kelak jika ingin menjadi seorang pendeta. STT Jakarta sudah menjadi rumah dan laboratorium bagi saya dalam mengembangkan pemikiran saya.
            Sebelum masuk di STT Jakarta saya menganggap kampus teologi itu adalah tempat untuk membentuk seseorang menjadi pendeta. Dengan demikian, ketika saya nanti kuliah di tempat itu maka semua hal yang berkaitan dengan isi pelajaran, kedisplinan dan tingkah laku saya akan tergambar dan dipelajari di dalamnya. Namun, dugaan saya tersebut tidak sepernuhnya tepat. Saya pun mulai menyadari bahwa kuliah teologi tidak 100% akan membuat orang yang kuliah di dalamnya akan menjadi seorang pendeta, namun menjadi seorang pemimpin di segala tempat. Walaupun pada akhirnya orang tersebutlah yang akan menentukan ke mana arah tujuan dan panggilannya selama kuliah teologi.
            Selama saya kuliah teologi di STT Jakarta, saya pun mendapatkan pemahaman dan pengalaman yang baru dan cukup luas dari yang selama ini saya pahami dan rasakan. Pengalaman dan pemahaman saya mengenai Allah pun mengalami cakupan yang luas dan signifikan jika saya mendeskripsikannya. Wacana mengenai Allah kini saya pahami sebagai Allah yang turut serta dalam kehidupan manusia, terlebih kepada umat-Nya yang menderita. Allah kini tidak selalu saya pahami sebagai Tuhan yang selau memberikan sesuatu yang baik kepada umat-Nya melainkan mengajarkan kepada umat-Nya untuk mencapai hasil yang terbaik tersebut. Namun pemberian yang Allah berikan adalah pemberian yang kita dapatkan dengan jerih payah, dengan kerja keras, bukan hanya berkhayal saja tanpa suatu tindakan.
            Ketika mengikuti perkuliahan di lapanganlah saya pun dapat merasakan kehadiran Allah yang nyata dalam kehidupan saya. Allah yang selama ini diwacanakan dengan sesuatu yang abstrak melalui teori-teori yang disampaikan dalam bangku kuliah bahkan dalam khayalan saya kini dapat saya rasakan dalam praktik kenyataan di lapangan. Dalam praktik lapangan, praktik jemaat di gerja dan masa Collegium Pastorale 1 dan 2, saya merasakan kehadiran Allah nyata dalam kehidupan saya, di mana melalui orang-orang yang temui selama masa praktik tersebut. Allah yang transeden kini dapat saya rasakan dalam bentuk yang imanen.
            Selain itu, pemahaman saya mengenai Allah semakin berkembang dengan pembangan yang luas juga dipengaruhi dari teori-teori yang disampaikan dalam bangku kuliah. Dalam kuliah teologi agama-agama, teologi sosial, teologi feminis, kristologi, dogmatika, biblika, saya mendapatkan gambaran mengenai Allah itu sendiri yang dapat diaplikasikan dengan teologi lainnya dalam perjumpaan dengan agama lain, aliran-aliran lain, agama dan masyarakat, misiologi, eklesiologi, pendidikan kristiani, dan etika kristen.
            Dalam berbagai teori yang dikemukakan tersebut, saya mendapat suatu pencerahan atau pemahaman yang baru dan bermanfaat dalam perkembangan diri saya terlebih ketika nanti saya menjadi seorang pendeta. Pemahaman mengenai Allah dalam teori dan praktik dapat saya selaraskan dengan baik sehingga ketika kelak saya menjadi seorang pendeta ‘modal-modal’ tersebut dapat membantu saya dalam mewartakannya kepada sesama.
            Teologi menurut saya tidak hanya semata-mata sebagai wacana yang selalu diperbincangkan tanpa suatu aksi atau tindakan yang nyata. Sebab teologi itu merupakan suatu proses pencarian mengenai Allah itu sendiri dengan didasari pada suatu tindakan atau aksi yang nyata. Belajar dalam proses pencarian tersebut memerlukan pengalaman dari diri yang kemudian digumuli dan direfleksikan untuk kepentingan bersama dan kepada sesama.
            Hal ini didasari dari pengalaman hidup saya yang tinggal dan dibesarkan di lingkungan sosial yang cukup termajinalkan. Saya hidup dengan pola hidup dari keluarga yang cukup sederhana dan miskin secara materi. Saya/span juga hidup dan melihat dengan nyata sejak masa kecil kehidupan orang yang sangat miskin di dunia ini. Padahal saya pikir keluarga saya adalah keluarga yang miskin, ternyata di luar dari rumah saya masih banyak orang-orang yang lebih miskin dari saya bahkan seperti tidak dipedulikan oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Ditambah lagi setelah mengalami masa-masa praktik di lapangan yang juga mempertemukan saya kepada realitas yang sama maka dengan melihat, merasakan, dan mengalami langsung realitas yang terjadi menyebabkan saya memaknai teologi sebagai sesuatu yang ‘praksis’ dilakukan dengan suatu tindakan nyata.
            Teologi sebagai praksis yang nyata dalam kehidupan merupakan suatu motto dan tujuan saya dalam memahami suatu kehidupan ini. Allah yang diwacanakan secara abstrak sebisa mungkin saya konkritkan dengan suatu tindakan nyata yang dapat saya bagikan kepada sesama manusia tanpa membeda-bedakan siapa, dari mana, asal-usul mereka melainkan melihat bahwa mereka adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama-sama diciptakan oleh Allah sebagaimana saya juga diciptakan oleh-Nya.
            Kini, dasar itulah yang selalu menjadi pedoman saya ketika saya menghadirkan Allah di tengah realitas kehidupan yang ada sebab Allah bukanlah Allah yang pasif, melainkan Allah yang aktif dan terus menerus menggerakkan setiap umat-Nya untuk menyatakan kabar baik bagi orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian semakin jelaslah bahwa suatu wacana mengenai Allah tidak menjadi sesuatu yang melulu transeden melainkan juga imanen yang dapat saya rasakan dan bagikan untuk orang lain di sekitar kehidupan saya dan menjadi modal saya kelak ketika saya menjadi seorang hamba atau pelayan Tuhan yang menjadi alat untuk menyatakan kabar baik atau misi Allah di dalam kehidupan ini.
            Berdasarkan pengalaman hidup saya hingga saat inilah yang akhirnya saya dapat mengatakan bahwa teologi yang saya dapatkan adalah sebuah teologi yang dimulai dari suatu khayalan atau mimpi-mimpi yang akhirnya saya renungkan dan mendapatkan suatu hasil permenungan tersebut dengan tindakan yang dilakukan. Ketika saya bertanya dalam hati saya mengapa saya harus menderita atau mengalami penderitaan, saya pun mengkhayal untuk tidak menderita dan berusaha mewujudkan mimpi itu dengan berusaha dan bertindak agar tidak mengalami ataupun dapat menjalani penderitaan tersebut tanpa harus menderita. Begitu halnya dengan berteologi. Berteologi tanpa suatu aksi-refleksi itu sama halnya dengan suatu wacana belaka saja yang hanya bisa dikhayalkan tanpa berusaha untuk mewujudkannya menjadi suatu kenyataan !