Sabtu, 21 Januari 2012

KONSELING KELUARGA

 1.         Pengertian Keluarga Secara Umum dan dalam Kekristenan
            Secara umum keluarga itu terdiri dari ibu, bapak, beserta anak-anaknya seisi rumah.  Keluarga adalah orang seisi rumah yang menjadi tanggungan.  Keluarga adalah sanak saudara atau kaum kerabat (Depatermen Pendidikan dan Kebudayaan 1994, 471). Clinebell berpendapat bahwa ada tiga jenis keluarga dalam masyarakat modern dan dalam gereja. Pertama, keluarga tradisional yang terdiri dari dua orangtua, keluarga dengan satu orangtua, pasangan suami-istri tanpa anak-anak karena mereka tidak bermaksud mempunyai anak, dan keluarga yang terdiri dari tiga angkatan yaitu kakek/nenek, suami-istri, dan anak-anak.  Kedua, hubungan yang bermacam-macam dijalin dengan sengaja.  Hubungan seerti ini menjadi keluarga bagi orang dewasa yang tidak menikah.  Ketiga, sistem dukungan pemeliharaan yang terdiri dari teman-teman. Ini merupakan keluarga bagi kebanyakan orang yang hidup membujang (Clinebell 2002, 372). 
            Menurut Nathan Ackerman, keluarga juga dapat disebut sebagai sistem sosial atau organisme.  Istilah “organisme” yang dimaksudnya ialah kualitas proses hidup, kesatuan fungsional, dan jalan kehidupan alamiah keluarga yang terdiri dari pengecambahan, kelahiran, pertumbuhan, kemampunan menyelesaikan diri kepada perubahan dan krisis, kemerosotan secara perlahan, dan pada waktunya terputusnya keluarga lama menjadi keluarga baru.  Apa pun yang mempengaruhi salah satu bagian dari organisme keluarga, secara otomatis akan mempengaruhi semua bagian lainnya. Bahkan, ada hal yang saling mempengaruhi secara negatif terdapat dalam semua keluarga yang bermasalah. Biasanya keluarga itu akan mencari bantuan ke luar keluarganya.  Karena keluarga berfungsi sebagai organisme atau sistem sosial, maka secara logis keluarga dapat memperkuat keluarga yang sehat dan merawat keluarga yang kurang sehat sebagai suatu unit. Di sinilah tugas penyuluhan dan terapi keluarga (Clinebell 2002, 393)            Konsep tentang keluarga berasal dari Allah.  Allah adalah sumber segala sesuatu. Keluarga asli yang sekaligus mesti jadi teladan adalah keluarga yang yang tergambar dan dinyatakan dalam sifat-sifat serta keberadaan Allah. Wahyu yang difirmankan mengenai Keilahian yang kekal adalah Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus (Mat.28:19; 2 Kor.13:14) (Iverson 1991, 11). “Keluarga Ilahi” diwahyukan dalam pribadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus.  Konsep keluarga ini diwahyukan dalam ketritunggalan dan keberadaan Allah: Bapa, Anak, dan Roh Kudus.  

            Pembentukan keluarga (rumah tangga) adalah “berkat” yang telah diberikan Allah kepada manusia waktu manusia diciptakan. Sebagai manusia yang bertanggungjawab, manusia juga mempunyai tanggung-jawab terhadap pembentukan keluarganya.  Orangtua memiliki tanggung-jawab yang besar dalam mendidik anak-anak.  Orangtua tidak hanya bertugas untuk melahirkan anak, tetapi juga orangtua harus membesarkan dan mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang baik dan bertanggungjawab (Abineno 1982, 65-68). 

2.         Konseling Keluarga
            Konseling adalah suatu tindakan yang diberikan kepada seseorang agar ia dapat mengatur hidupnya sendiri, dapat mengembangkan pendapatnya sendiri, dapat mengambil keputusan serta dapat memikul bebannya sendiri sehingga tercapailah tujuan konseling agar dapat menjadi manusia yang sehat dan yang menghargai hidup serta mampu memberikan partisipasi dan kontribusinya dalam masyarakat (Tukan 1986, 36). Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
            Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Konseling keluarga memandang keluarga secara keseluruhan bahwa permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Konseling keluarga bertujuan membantu anggota keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika keluarga merupakan hasil pengaruh hubungan anggota keluarga. Membantu anggota keluarga agar dapat menerima kenyataan bahwa apabila salah seorang anggota keluarga memiliki permasalahan, hal itu akan berpengaruh terhadap persepsi, harapan, dan interaksi anggota keluarga lainnya. Memperjuangkan (dalam konseling), sehingga anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang guna mencapai keseimbangan dan keselarasan. Mengembangkan rasa penghargaan dari seluruh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain (Clinebell 2002, 372-375).

3.         Model Konseling Keluarga
            3.1       Terapi (Pastoral) Keluarga
            Family therapy atau Terapi Keluarga mulai berkembang pada tahun 1950. Terapi keluarga merupakan suatu metode yang menggunakan pendekatan struktural dalam menangani masalah keluarga. Titik tolak dari pendekatan ini ialah pendapat bahwa keluarga merupakan suatu sistem sosial terkecil. Jika salah seorang anggota keluarga mengalami masalah-masalah yang menganggu keseimbangan dirinya atau penampilan tingkah lakunya maka seluruh anggota keluarga yang lain akan juga mengikuti gangguan atau goncangan itu (Tukan 1986, 63).
            Dalam pendekatan pastoral, semua tindakan terapi atau penyembuhan dilakukan dengan kegiatan dari Roh Kudus dan membuat hidup anggota keluarga lebih bermakna dalam kaitannya dengan tujuan Allah bagi kehidupan manusia. Terapi pastoral keluarga ini menggunakan komunikasi metaforik, penyembuhan kata-kata yang bertanggung jawab atas metafora pikiran anggota keluarga di mana Roh Kudus berperan di dalamnya untuk menggabungkan aktivitas otak kanan dan kiri. Di mana pusat aspek otak kanan dalam terapi ini mengandalkan sumber daya mereka sendiri dalam metafora pikiran dan dimensi otak kiri diungkapkan melalui kerangka konseptual sistematis dan metodologi intervensi (Douglas 1980, 69).
            Metafora pikiran dilakukan dengan melakukan terapi kepercayaan yang bertujuan untuk menjalin relasi dengan orang lain dan Allah dengan penuh kasih (Douglas 1980, 69). Sedangkan kerangka konseptual sistematis digunakan untuk membantu menjawab pertanyaan mengenai: (1) Apa dan bagaimana keluarga berfungsi secara efektif? (2) Bagaimana kerusakan keluarga? (3) Bagaimana perubahan yang dilakukan keluarga untuk pemulihan yang efektif? Bagaimana mengubah keluarga difasilitasi oleh intervensi terapi? (Douglas 1980, 71) Dan metodologi intervensi tersebut dilakukan dengan jenis kegiatan: (1) bergabung dengan keluarga sebagai anggota yang efektif, (2) menilai masalah keluarga, (3) perencanaan dan kontrak dengan keluarga untuk perubahan, (4) melaksanakan rencana untuk perubahan, dan (5) meninggalkan keluarga sambil membantu mereka mengintegrasikan perubahan yang dilakukan. Masing-masing kegiatan dilakukan ini terpisah dengan tujuan yang berbeda-beda (Douglas 1980, 73).
            Keberhasilan dari family therapy tergantung pada dua hal yaitu kemampuan dan kepribadian dari terafis serta penerimaan terafi. Maka faktor penerimaan dari keluarga sangatlah penting. Kadangkala terapi untuk anak atau remaja menjadi gagal karena kurang adanya kesediaan orangtua untuk terlibat dalam terapi. Kalau pun mereka bersedia maka partisipannya tidak penuh. Orangtua merasa tidak mempunyai masalah. Padahal orangtua lupa bahwa ketika memasuki masa remaja justru anaknya sangat membutuhkan pendampingan dari orangtua. Halangan lainnya yang dijumpai dalam family therapy ialah anak tidak secara bebas terbuka di hadapan orangtua. Padahal keterbukaan dan kebebasan sangat perlu dalam terapi (Tukan 1986, 64).
            Untuk menjalankan family therapy maka konselor maka konselor perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini (Tukan 1986, 64):
a. Tidak semua masalah orangtua atau masalah anak harus ditangani dengan cara family therapy. Hanya masalah-masalah yang menyangkut hubungan yang tidak sesuai dengan anggota keluarga lain adalah sesuai dipakai family therapy.
b. Pendekatan teknik family therapy harus dibarengi dengan teknik-teknik terapi yang lain.
c. Hambatan-hambatan dari faktor-faktor kebudayaan perlu diperhatikan. Oleh karena itu family therapy perlu disiapkan secara matang untuk semua anggota termasuk penjelasan mengenai tujuan dalam melakukan family therapy.
d. Kesediaan dan kerjasama dari masing-masing anggota keluarga perlu diperhatikan terlebih peranan ayah sebagai tokoh identifikasi bagi anak-anaknya.
          3. 2         Contoh Kasus[1]
Nama/initial     : F
Usia                 : 21 tahun
Jenis kelamin   : Perempuan
Gol. Darah      : O
Pendidikan      : Mahasiswi
Status              : Anak kandung – Anak   kedua dari tujuh bersaudara
Masalah                       : mengeluhkan perilaku agresi, pada:
Nama/initial     : MT (Adik laki-laki F)
Usia                 : 17 tahun
Jenis kelamin   : laki-laki
Gol. Darah      : O
Pendidikan      : SMA
Status              : Anak kandung – Anak keempat
Gambaran Kasus
            F adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. F adalah anak perempuan pertama dari dua perempuan bersaudara. Dia mengaku mempunyai masalah keluarga khususnya adiknya, MT.
            F sering menangis jika memikirkan MT, karena menurutnya perkembangan kepribadian MT tidak normal (F kuliah di Fak. Psikologi dan sangat menyukai mata kuliah bidang perkembangan), MT yang sekarang sangat berbeda dengan MT kecil yang ada di dalam ingatannya.
            MT adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. MT sekarang sudah duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) di sebuah sekolah unggulan di kotanya. MT mengambil kelas bahasa sejak kelas dua SMA. Prestasinya tergolong lumayan bagus karena nilai-nilainya disetiap mata pelajaran di atas standar kelulusan. Meskipun demikian, MT bukanlah siswa yang aktif dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
            Saat usia tiga sampai empat tahun, MT memperlihatkan perilaku yang sangat aktif, MT selalu ikut dengan F yang saat itu sudah duduk di kelas empat SD. MT merasa senang ikut ke sekolah bersama dengan F karena teman-teman F menyukainya. Mereka biasa menggoda MT untuk menyanyikan lagu mandarin karena kebetulan saat itu adalah masa-masa maraknya sinema kungfu mandarin ditayangkan distasiun televisi nasional dan MT sangat menyukainya maka tidak heran kalau MT suka menyanyikan soundtrack dari sinema kungfu mandarin yang ditayangkan di stasiun televisi nasional meskipun secara lafal dan bahasa semua tidak tepat tapi MT menyanyikannya dengan hanya mengikuti nadanya. Teman-teman kakaknya pasti akan tertawa dan memujinya.
            Satu lagi dampak dari nonton sinema kungfu mandarin adalah perilaku MT menjadi sangat agresif. MT sangat sering bertengkar dengan teman sebayanya. Sewaktu kecil, MT adalah anak yang tidak mau menerima perlakuan yang negatif, dia juga sangat polos. MT dikenal sebagai anak yang kuat dan ditakuti oleh teman-temannya yang lain meskipun MT tidak memilki tubuh yang besar. Teman-temannya tidak berani memukul secara jantan tetapi harus secara licik (memukul MT dari belakang, melempar dan langsung kabur).
            Pernah saat MT berusia sekitar empat atau lima tahun ada seorang anak laki-laki yang dikenal nakal – sebut saja A – memukul MT dari belakang dan kabur. Si A tersebut ternyata bersembunyi di rumahnya yang tidak jauh dari rumah MT. MT-pun langsung mengejar si A sampai ke rumahnya. MT tidak peduli kalau di rumah itu ada orang tua dan saudara si A, baginya menuntut keadilan adalah yang terpenting.
            “MT pulang terengah-engah dan langsung menceritakan bahwa dia baru saja pulang dari rumah si A dan memukul si A. katanya, MT dipukul oleh si A dan langsung kabur”.
            MT adalah anak yang sangat aktif. Dia berani menunjukkan siapa dirinya dan melakukan apapun tanpa takut pada siapapun jika MT memang merasa bahwa dirinya melakukan hal yang benar.
            Saat usia empat tahun MT sudah bergabung dalam TK. Dia sangat rajin dan belajar agama dengan cepat sehingga guru agama menyukainya. Bentuk kepala MT besar sehingga orang-orang menganggap bahwa MT adalah orang yang cerdas, dan ada juga berpendapat bahwa MT adalah anak yang “nakal”, berkemauan kuat, dan pemberontak.
            Semua berjalan seiring perputaran waktu. MT masuk di sekolah dasar 126 kemudian pindah sekolah di kota lain karena ikut orangtua. MT diterima di SD unggulan di kota baru tempat mereka tinggal.
            Saat MT sudah menginjak kelas empat SD, dia dipindahkan ke asrama di Salatiga. Awalnya, MT merasa kesulitan beradaptasi dengan sekolah barunya karena banyak mata pelajaran baru yang didapatkannya. Namun setelah caturwulan berikutnya nilainya sudah bagus kembali. MT cuma sampai kelas lima SD di sana karena MT tidak cocok dengan iklim asrama Salatiga yang sangat dingin. MT mengidap penyakit gangguan pernapasan Bronkhitis, sehingga orangtuanya tidak tega membiarkan MT tetap tinggal di sana meskipun sangat besar harapan orangtua MT agar MT bisa menyelesaikan pendidikannya di sana. Orang tua MT berharap MT mendapat lingkungan yang sehat baik dari segi sosial maupun dari segi agama untuk itu orang tua MT tidak pernah mempermasalahkan biaya sekolah di sana.
            Setelah kembali dari asrama di Salatiga, MT kembali ke sekolahnya semula dan kembali beraktivitas seperti biasanya. MT adalah anak yang sangat rajin. Dia punya sepeda jadi tidak pernah keberatan disuruh kesana-kemari untuk membeli keperluan ibunya atau kakak-kakaknya.
            “Saya tidak tau kapan saat-saat terakhir MT menjadi anak seperti itu, tapi seingat saya, ketika MT sudah duduk di SMP saya sering bertengkar – fisik dan verbal – saya ingat saya pernah memukulnya dengan skof karena mengatai saya. Saya juga pernah memukul kepalanya dengan sapu karena mengunci kamar saya dari dalam sehingga saya tidak bisa masuk, bahkan waktu itu tangannya berdarah karena saya memecahkan kaca jendela kamar saya dan kacanya terlempar ke tangannya. Tapi saya tidak peduli waktu itu. Saya benar-benar marah. Saya ingat, dia menangis sambil memegangi tangannya yang berdarah.”
            “Kami punya kakak laki-laki. Dia anak pertama, wataknya sangat keras, perkataannya adalah “titah” dan tidak boleh satupun dari kami – adik-adiknya – tidak mematuhinya. Biasanya kalau kami membangkang, kami pasti dihukum dengan tidak boleh nonton TV, atau dipukul, ditendang, dll. MT adalah yang paling sering mendapat hukuman dari kakak. Pernah, pahanya diinjak, ditendang, ditampeleng… dan saya tidak bisa melakukan apa-apa. Ibu juga kadang cuma melihat perlakuan kakak.”
            Sekarang, semua berjalan dengan baik. Menurut keterangan dari F, kejadian-kejadian sewaktu kanak-kanak, pada saat itu seolah-olah bukanlah suatu masalah. Hal itu normal karena masih kanak-kanak. Sekarang MT dan saudaranya hidup rukun. Kakak laki-lakinya sudah dewasa dan sudah tidak pernah lagi memukul, seandainya pun MT dan saudaranya yang lain berbuat kesalahan paling cuma ditegur dan dinasehati.
            Tetapi hal-hal yang terjadi sewaktu MT kanak-kanak tentunya membekas dengan baik di jiwanya. Sekarang sosok MT tidak seceria dan seaktif waktu kanak-kanak. Dia juga tidak terbuka dalam menyampaikan perasaan dan keinginannya. Jika dia menginginkan sesuatu, dia pasti bicara dengan ibunya atau kepada F secara diam-diam takut ayah atau kakak laki-lakinya (H) mendengar.
            MT sampai sekarang sering mengamuk dan merasa dirinya dianak tirikan. Sudah sering MT memecahkan kaca lemari dan barang-barang lainnya. MT juga tidak segan-segan memukul adik atau sepupu yang menurutnya berbuat salah padanya. Saat ditegur dia berdalih, “Kenapa saya tidak boleh. Dulu kalau kakak memukul saya tidak ada yang melarang.” F merasa sangat sedih dan merasa sangat bersalah karena dulu dia juga sering menyakiti MT.
            F menambahkan bahwa MT selalu membanding-bandingkan dirinya dengan H. Sewaktu MT duduk di kelas 2 SMP, dia meminta kepada ayahnya untuk dibelikan motor tapi ayahnya tidak mengabulkan permintaannya dan mengatakan bahwa nanti setelah kelas 1 SMA baru dibelikan. Saat itu MT marah dan bilang kalau dulu kakak H waktu kelas 2 SMP sudah gonta-ganti motor dan kenapa dia tidak mau dibelikan motor. Ibu dan F kemudian memberikan pengertian dan meminta MT untuk bersabar.
            Saat kelas 2 SMA, MT benar-benar marah karena belum dibelikan motor. Dia bermaksud untuk berhenti Sekolah. setahun yang lalu ayahnya sudah membelikannya motor seharga Rp. 15.000.000, tapi MT tidak menyukainya katanya motor yang dibelikan ayahnya motor murahan tidak sebanding dengan harga motor yang sudah dipake kakak H dari SMP sampai sekarang (bahkan sekarang ayahnya berencana membeli mobil untuk H). ayahnya pun marah dan menjual motor itu kembali.
            MT juga minta dibelikan laptop. Ayahnya berpikir untuk membelikannya laptop yang sederhana dan murah karena menurut ayahnya MT cuma menggunakan laptop tersebut untuk mengetik atau main game. MT menolak, katanya laptopnya harus semahal laptop kakak-kakaknya. MT selalu membandingkan antara perlakuan yang dia dapatkan dari orang tuanya dengan perlakuan yang kakak-kakaknya terima.
            F mengatakan bahwa posisi orangtuanya memang sulit. Ayahnya selalu berusaha berlaku adil kepada semua anaknya, makanya ketika anak pertama minta sesuatu maka ayah akan bertanya ke anak kedua. Karena diantara tujuh bersaudara hanya ada dua anak perempuan, yaitu anak kedua dan ketiga maka ayah selalu berusaha adil terhadap kedua anak perempuannya. Jika anak kedua dibelikan sesutu maka anak ketiga juga harus dapat sesuatu. Kalau ayah dan ibu liburan dan berbelanja sesuatu untuk adik-adiknya maka anak bungsu yang jadi prioritas. Ayah dan ibunya juga harus berlaku adil terhadap kakak si bungsu makanya si bungsu dan dua orang kakaknya pasti mendapatkan sesuatu yang sama. MT yang berada di tengah-tengah kadang terabaikan. Meskipun MT tidak pernah protes secara langsung pada saat itu juga, namun MT menyimpan itu semua sebagai senjata untuk memenuhi kebutuhannya.

          3.3          Analisa Kasus
1.    Masalah yang terjadi pada keluarga F berpusat pada masalah agresifitas yang dialami oleh MT.
2.    Agresifitas MT merupakan bentuk dari kemarahan dan dendam atas perlakuan agresi yang didapatkannya dari H dan mulai muncul ketika MT duduk di bangku SMP hingga sekarang.
3.    Bentuk agresi MT adalah agresi fisik, verbal, dan penyerangan terhadap objek.
4.    Selain disebabkan karena kemarahan dan dendam yang tak tersalurkan, MT juga bermasalah dengan identitas diri dan konsep dirinya.
5.    Terjadi hubungan komunikasi antar anggota keluarga yang tidak efektif sehingga memberi peluang bagi semua anggota keluarga untuk melakukan interpretasi yang berbeda-beda (kesalah pahaman) terhadap satu perlakuan.
          3. 4         Proses Terapi
          Beberapa langkah yang harus ditempuh oleh seorang konselor sebelum benar-benar memberikan terapi, antara lain:
a)    Seorang konselor harus melakukan metode interviw keluarga terstruktur dengan menanyakan kepada anggota keluarga secara terpisah, kemudian secara bersama-sama.
b)   Konselor mengevaluasi keluarga dengan metode sejarah keluarga untuk mendapatkan riwayat keluarga secara lengkap dan rinci.
c)    Setelah konselor merasa informasi yang didapatkan sudah lengkap dan terperinci serta masalah-masalah yang ada dalam keluarga nampak jelas, dalam hal ini apa saja yang menyebabkan perilaku agresi pada MT, apakah masalah komunikasi dengan keluarga yang lain, agresifitas H, perbedaan sikap orang tua terhadap MT, dan lain-lain.
d)   Konselor harus memberikan intervensi individual terhadap MT berkaitan dengan masalah identitas diri dan konsep dirinya yang salah dengan melakukan identifikasi dan analisi terhadap penolakan dan pertahanan, asosiasi bebas, analisis mimpi kemudian melakukan interpretasi.
e)   Di lain pihak konselor berusaha memberikan keterampilan komunikasi efektif bagi orang tua MT agar orang tua dapat membangun hubungan komunikasi dengan anak-anaknya terutama kepada MT dapat menjelaskan dengan baik perihal perasaan-perasaan MT yang merasa dianak tirikan.

4.         Penutup
            Semua krisis yang dialami manusia pada dasarnya adalah peristiwa antar pribadi dalam suatu relasi, termasuk krisis keluarga. Dalam keadaan krisis pasti ada suatu luka yang terpendam di dalam di dalam setiap orang yang terlibat. Oleh karena itu, dalam konseling keluarga perlu melibatkan semua keluarga. Tujuannya, supaya setiap anggota keluarga dapat mengungkapkan hal-hal yang tidak suka dan hal-hal yang masih ia hargai dalam diri orang lain (sesama anggota keluarga) dalam keluarga.  Dengan begitu, mereka dapat saling memberi tanggapan sekaligus memperjelas hal-hal yang mungkin keliru dalam relasi mereka, khususnya dalam hal komunikasi.  Hal yang ditekankan dalam konseling keluarga adalah perubahan pemahaman atau paradigma terhadap permasalahan yang dialami oleh konseli.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abineno, J.H. 1982. Manusia, Suami & Istri, Perkawinan, Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Clinebell, Howard. 2002. Tipe-tipe Pendampingan & Konseling Pastoral.  Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayan. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Kedua. Jakarta:    Balai Pustaka.
Douglas, Anderson. 1980. New Approaches to Family Pastoral Care. USA: Fortress Press.
Iverson, Dick, dkk. 1991.  Memulihkan Keluarga: Prinsip-prinsip Kehidupan Keluarga.  Jakarta: Harvest             Publication House.
Tukan, John Suban. 1986. Konseling Pastoral Kehidupan Keluarga. Jakarta: OBOR.

Internet