Senin, 18 Oktober 2010


Pembenaran oleh Iman
Menurut Paulus

1. Dosa
Sebelum berbicara tentang pembenaran, perlu dimengerti apa pentingnya pembenaran itu. Kenapa manusia membutuhkan pembenaran? Dalam teologi Paulus, pada dasarnya seluruh manusia adalah berdosa. Dosa dalam pengertian Paulus adalah rusaknya relasi antara manusia denganTuhan dan perlawanan terhadap kehendak Allah (Whiteley 1970: 47). Dosa itu dimulai (atau mungkin lebih tepat ‘digambarkan’) dalam kisah Adam dan Hawa yang melakukan perlawanan terhadap kehendak Allah dan berakibat pada rusaknya relasi mereka dengan Allah (Kejadian 3). Dosa Adam dan Hawa ini yang kemudian 0tmembuat mereka harus menerima maut (dapat diartikan kehilangan relasi dengan Allah).
Bermula dari Dosa Adam itulah, maka seluruh dunia pun turut berdosa dan harus menerima akibatnya yaitu maut (Roma 5: 12). Harus diakui bahwa Paulus tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara dosa yang dilakukan oleh Adam dengan dosa yang universal (Ridderbos 1975:97). Namun demikian, dapat dikatakan bahwa tindakan dosa yang dilakukan oleh Adam telah mendorong seluruh dunia dan keturunannya untuk melakukan dosa yang sama, yaitu melawan kehendak Allah. Dengan begitu seluruh dunia pun layak mendapat hal yang sama dengan Adam akibat dari dosa itu, yaitu maut. Tetapi, bukan berarti setiap orang terlahir dengan membawa dosa, melainkan memiliki potensi untuk melawan Allah (Whiteley 1970: 51). Paulus percaya bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk melawan Allah, bahkan sejak dari lahir.
Dalam Roma 5:12, Paulus menyatakan bahwa setiap orang akan mengalami maut karena telah berdosa. Hal itu ditegaskan pada ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa dosa itu sudah ada sebelum hukum Taurat diberikan. Namun sebelum ada hukum Taurat, dosa itu tidak dapat dituntut karena hukum itu sendiri belum ada (BIS). Walaupun pada masa antara Adam dan Musa belum ada Taurat, tetapi manusia tetap akan mengalami maut karena melakukan dosa. Perbedaannya adalah, dosa yang dilakukan sebelum adanya Taurat adalah dosa material, bukan dosa formal. Artinya, sebelum ada Taurat pun orang dapat berbuat dosa, tetapi bentuk dari dosa itu sendiri masih kabur. Sedangkan setelah ada Taurat, dosa itu bersifat formal, karena apa yang disebut dosa itu sudah dijabarkan di dalam Taurat. Jadi dapat dikatakan orang yang hidup di masa antara Adam dan Musa mengalami kematian “karena” Adam (Ridderbos 1975:96). Namun demikian, orang yang hidup pada masa setelah Musa pun tetap melakukan dosa walaupun telah diberikan hukum Taurat. Jadi Paulus memandang bahwa manusia itu berdosa dan membutuhkan sebuah pembenaran atau penyelamatan dari maut untuk dapat kembali berelasi dengan Allah.

2. Pembenaran
2.1 Pembenaran dalam tradisi Yahudi
Paulus menggunakan kata nomos merujuk pada hukum yang dipahami sebagai hukum Musa (Guthrie 1992: 349). Paulus tidak memakai kata nomos dalam bentuk jamak dan tidak pernah membandingkan hukum bangsa-bangsa lain dengan hukum orang Yahudi dan hukum itubersifat pribadi (misalnya Roma 3:19; 4:15; 1 Kor. 9:8).
Paulus melihat Taurat adalah suatu ungkapan anugerah Allah karena didasarkan pada janji Allah. Jika Taurat dilaksanakan, keselamatan pasti terjadi. Hal inilah yang menjadi janji Taurat. Tetapi Paulus mengetahui sepenuhnya bahwa tidak seorang pun yang pernah melaksanakan seluruh hukum Taurat, kecuali Yesus Kristus. Kelemahan utama Taurat adalah hanya dapat memperlihatkan bahwa orang sudah melakukan pelanggaran, dan tidak dapat menghidupkan (Gal. 3:21) (Guthrie. 1992: 353).
Dalam rangka menjelaskan fungsi Taurat masa kini, Paulus membuat penegasan tentang bagaiman hukum Taurat itu mengena dengan manusia sebagai pribadi:
1. Taurat membawa pengenalan akan dosa (Roma 3:20; 4:15; 7:7). Dalam arti ini Paulus melihat fungsi Taurat sebagai pengajaran. Taurat mengajarkan manusia bahwa dosa adalah penghinaan langsung terhadap Allah. Taurat menyatakan tuntunan Allah pada masa lalu, dan standarnya tetap berlaku. Tetapi pendekatan Kristen harus berbeda dari pendekatan PL dalam hal bahwa janji mengatasi Taurat. Pengenalan akan dosa masih tetap dibutuhkan, tetapi janji itu membawa jaminan penyucian yang harus dilakukan.
2. Taurat merangsang dosa. Dalam hal ini, Paulus mengatakan bahwa “Hukum Taurat ditambahkan supaya pelanggaran menjadi semakin banyak (Roma 5:20), dan supaya nyata ia adalah dosa…supaya oleh perintah itu dosa lebih nyata lagi keadaannya sebagai dosa (Roma 7:13). Kelihatannya seakan-akan Paulus sedang melukiskan Taurat sebagai sesuatu yang jahat, tetapi maksudnya justru sebaliknya. Dalam Roma 7:13 ia mengemukakan hasil yang buruk itu bukan kepada Taurat, melainkan kepada dosa yang memperalat Taurat untuk maksud-maksudnya sendiri (Guthrie 1992: 354).
3. Taurat itu bersifat rohani. Paulus mengemukakan jika Taurat membuat dosa lebih hebat lagi, itu bukan kesalahan Taurat, melainkan terletak pada manusia. Dosa tidak mungkin dirangsang jika manusia tidak bersifat daging. Fungsi sesungguhnya dari taurat adalah rohani, yakni mencapai hasil-hasil rohani, tetapi kegagalannya terletak pada ketidakmampuan manusia untuk memberi tanggapan terhadap Taurat.
4. Taurat itu memberatkan. Maksudnya seseorang yang melakukan hukum taurat wajib melakukan seluruh hukum taurat dan pelanggaran terhadap salah satu hukum Taurat dianggap sama dengan melanggar keseluruhannya.
5. Melalui tindakan melakukan Taurat orang tidak lagi memperoleh kebenaran karena menurut Paulus pembenaran datangnya dari iman dan bukan dari Hukum Taurat
6. Taurat adalah penuntun sampai Kristus datang. Maksudnya adalah Taurat bertindak sebagai penuntun sampai Kristus datang. Sebelum zaman iman, Paulus mengakui bahwa Taurat mempunyai fungsi untuk melindungi, tetapi bagi dia jelas bahwa orang beriman tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun (Gal. 3:25). Akan tetapi, fungsi ini tidak berlaku lagi bagi orang Kristen. Paulus tentu tidak bermaksud bahwa Taurat memimpin orang kepada Kristus, karena ungkapannya membuat jelas bahwa Kristus telah mengubah fungsi Taurat ini sebagai penuntun. (Guthrie 1992: 356).
7. Taurat berakhir di dalam Kristus. “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya” (Roma 10:4).
Pembahasan diatas telah menyoroti banyak ciri hukum Taurat yang tidak lagi berlaku dalam Kristus. Akan tetapi, hal ini bukan berarti Paulus ingin mencabut hukum Taurat itu secara total. Ia pun mempunyai penilaian yang positif atas Hukum Taurat dalam hal memahami mengenai kemerdekaan Kristen, sebagai berikut:
1. Taurat masih dianggap kudus. Hukum Taurat adalah kudus, dan perintahnya juga kudus, benar dan baik. Yang salah bukan Taurat, melainkan dosa yang menyalahgunakan Taurat (Jacobs 1992: 80).
2. Bagi orang-orang percaya Taurat mempunyai arti yang berbeda dari artinya bagi orang yang tidak percaya. Taurat tidak lagi dianggap sebagai hukum tertulis yang mematikan (2 Kor 3:6), tetapi didekati melalui roh.
3. Hukum Taurat digenapi dengan cara mengasihi. Pandangan Paulus bahwa kasih terhadap sesama menggenapi hukum Taurat, merupakan suatu pendekatan yang sama sekali berbeda dari legalisme dan member suatu dimensi yang sepenuhnya baru kepada pemahaman atas hukum Taurat itu. Kasih jenis hanya mungkin melalui Kristus. Dan ini merupakan dimensi yang sama sekali baru dalam memahami Taurat.
4. Orang Kristen wajib menjunjung tinggi hukum Taurat. Paulus menjelaskan hal ini dalam Roma 3: 31 di mana ia menolak pandangan bahwa iman membatalkan hukum Taurat.  Kristus dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Taurat tentang kurban atas nama umat-Nya, telah menggenapi Taurat, maka dalam arti itu Taurat telah dijunjung tinggi. Dengan cara yang sama, orang percaya menjunjung tinggi hukum Taurat lewat persatuannya dengan Kristus.
Berdasarkan hal tersebut, Paulus menegaskan kemerdekaan orang yang percaya kepada Kristus, yang tidak lagi berada di bawah hukum Taurat, melainkan di bawah anugerah.

2.2 Pembenaran di dalam Kristus
            Pada bagian sebelumnya telah dibahas mengenai pandangan Paulus terhadap kegagalan hukum Taurat untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Menurut Paulus keselamatan semata-mata hanya dihasilkan oleh iman. Paulus seringkali menggunakan kata pistis dalam arti kesetiaan Allah (Whiteley 1970:161) (Rm 3:3; 1 Kor 1:9; 2 Kor 1:18; 2 Tim 2:13). Paulus ingin menunjukkan bahwa Allah dapat dipercaya sepenuhnya untuk memenuhi janji-janji-Nya dan janji-janji itu pun dapat dipercaya tanpa ragu. Berdasarkan hal tersebut maka penggunaan kata pistis bagi iman manusia kepada Allah ini juga harus memperhatikan tanggapan dari iman iman itu sendiri, sehingga pistis tidak diartikan sebagai iman yang membabi buta (Guthrie 1996:235).
            Iman pada dasarnya berarti menerima amanat Allah, yaitu tanggapan manusia kepada pemberitaan Injil (1 Kor 1:21; Ef 1:13). Berita Injil merupakan suatu wujud nyata dari kasih karunia Allah yang menyelamatkan manusia – artinya bukan dari upaya manusia – tetapi Injil itu sendiri hanya memiliki kekuatan bagi orang yang beriman (1 Kor 1:18). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kristus menjadi objek iman dan Kristus menjadi berarti bagi seseorang hanya melalui iman. Iman inilah yang kemudian dijadikan Paulus sebagai dasar pengajarannya tentang pembenaran.
            Pembenaran merupakan suatu pencapaian hubungan yang benar antara Allah dengan manusia dan hal tersebut merupakan anugerah Allah yang hanya dapat diterima oleh manusia melalui iman. Melalui kematian dan kebangkitan Kristus karya keselamatan Allah terjadi di dalam hidup manusia (Morris 1986:70). Oleh sebab itu, manusia tidak dapat berbuat apa-apa untuk mendatangkan pembenaran tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan Yahudi – yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya – yang menekankan pada prestasi pribadi manusia untuk menghadirkan pembenaran bagi dirinya sendiri. Menurut Paulus, ketika manusia beriman kepada Kristus berarti manusia harus berhenti untuk percaya kepada dirinya sendiri.
Iman bukan sekadar tindakan awal untuk menerima karunia secara cuma-cuma dari Allah, melainkan mencakup suatu proses yang berkesinambungan sebagai hasil dari hubungan yang baru dengan Kristus. Hubungan yang baru tersebut dapat dilihat sebagai perbuatan iman yang berkelanjutan. Iman juga dapat dilihat sebagai pengikatan diri kepada kehidupan yang baru yang kualitas perwujudannya dapat berbeda-beda. Kualitas iman ini tidak hanya menyangkut persoalan individu tetapi juga komunal yang dialami oleh jemaat-jemaat pada saat itu (Brox 1992: 60-61).

3. Kesimpulan
Menurut teologi Paulus, semua manusia berdosa dalam artian memiliki potensi untuk dengan mudah melawan Allah. Bahkan dengan atau tanpa hukum Taurat sekalipun. Oleh karena itulah manusia membutuhkan suatu pembenaran untuk memperbaiki relasinya dengan Allah.
Dalam kaitan dengan hukum Taurat, Paulus menegaskan bahwa Taurat tidak salah, melainkan dosa yang menyalahgunakan hukum Taurat. Taurat tidak dapat menuntut suatu pendekatan terhadap kebenaran yang lain, tetapi pembenaran hanya dapat diperoleh melalui iman. Selain itu Paulus tidak dapat melihat Taurat sebagai anugerah (yang berada di bawah janji Allah) karena janji Allah tidak dibatasi oleh Taurat melainkan hukum Taurat ada untuk mencapai penggenapannya di dalam Kristus.
Pembenaran merupakan anugerah dari Allah – melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus – yang hanya dapat diterima oleh iman. Oleh sebab itu, pembenaran tidak dapat diperoleh melalui perbuatan ataupun prestasi pribadi melainkan hanya oleh kasih karunia Allah. Iman itu sendiri harus tercermin dalam tindakan manusia sebagai respon atas karunia Allah tersebut bukan sebagai upaya pembenaran diri.



Daftar Pustaka
Brox, Norbert. Memahami amanat Santo Paulus. Yogyakarta: Kanisius
Guthrie, Donald. Teologi perjanjian baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Jacobs, Tom. Iman dan Agama: Kekhasan Agama Kristiani menurut Santo Paulus dalam Surat     Galatia dan Roma. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
Morris, Leon. 1986. New testament theology. Grand Rapids: Zondervan
Ridderbos, Herman N. 1975. Paul:an outline of his theology. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company.
Whiteley, D.E.H. 1970. The theology of St. Paul. Great Britain: Oxford.


Oleh : Yanti Napitupulu, Tunggul Gumelar, Sosam Zebua
*Paper Kelompok 5 Teologi Perjanjian Baru, Semester 7, STT Jakarta*
Senin, 20 September 2010