Senin, 18 Oktober 2010

AKAR BERSAMA: BELAJAR TENTANG IMAN KRISTEN DARI DIALOG KRISTEN-YAHUDI




            Membaca buku “Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi” karangan Hans Ucko yang diterjemahkan oleh Matin Lukito Sinaga, membuat saya memiliki satu kesimpulan bahwa buku ini hendak memaparkan suatu pemahaman mengenai titik temu antara Yahudi-Kristen yang diawali dengan titik tengkar mengenai pemahaman mengenai Yahudi. Timengenai titik temu ini dengan jalan dialog antara kedua agama tersebut.
            Dalam bukunya, Ucko mengangkat tema-tema yang menjadi titik temu antara Yahudi dan Kristen. Tema-tema tersebut mencakup: “Pewaris Akar Bersama”, “Pemilihan dan Tanah yang Dijanjikan”, “Identitas dan Panggilan Terhadap Umat Minoritas”, “Dengan Hadirnya Pihak yang Lain”, “Dalam Citra Allah”, “Kerajaan Sorga sebagai Suatu Pengakuan”, “Sang Mesias-Digugat Namun Ditunggu”, “Menciptakan Ruang Bagi yang Lain”. Setiap yang diangkat memaparkan mengenai titik tengkar mengenai kedua agama tersebut, di mana terdapat kesalahpahaman dalam memahami Yahudi sehingga menimbulkan citra yang salah mengenai agama tersebut. Akan tetapi, Ucko kembali mempertemukan setiap ide atau gagasan dari setiap agama tersebut.
            Mengutip kalimat dari salah satu bagian buku ini: “bertemu dengan sesama menjadikan kita melihat diri sendiri dengan cara baru. Dalam suatu perjumpaan yang sejati seseorang dapat belajar sama banyaknya tentang dirinya sendiri dan juga tentang sesama”, merupakan inti utama buku ini agar orang Kristen dapat ikut serta dalam gerakan ekumenis melalui dialog antara Yahudi dan Kristen. Dan dengan dialog yang dilakukan orang Kristen dapat belajar dan dapat merumuskan dirinya sendiri.
            Melalui pembahasan yang dipaparkan dalam buku ini, saya jadi teringat pada tipologi teologi agama-agama yang kita anut dan berkaitan dengan pola pandangan kita mengenai suatu agama. Apakah kita adalah orang yang ekslusif, inklusif atau pluralis. Dan Ucko, hendak memberikan suatu pemahaman teologi agama-agama yang menganut tipologi pluralis, bukan ekslusif maupun inklusif.
            Tipologi pluralis tampak dari setiap pemaparan yang dikemukakan oleh Ucko dan tipologi ini hendak menjadi pedoman dalam melakukan dialog antar agama. Dialog-dialog yang ada harus mampu mengikis habis titik-tengkar yang ada, sekaligus mengungkap titik-temu sebanyak mungkin dan menjadi suatu kewajiban semua pihak untuk melanjutkan semua dialog dan proses yang ada. Sehingga pertengkaran yang ada menjadi awal bagi perkenalan sejati satu sama lain dalam lingkup kehidupan damai, berdampingan dan penuh kekeluargaan.
            Buku ini menurut saya memberikan suatu pemahaman yang baru mengenai cara pandang dan berteologi kita saat ini. Akan tetapi, menurut saya ada satu bagian atau pembahasan lain yang perlu dipaparkan dalam buku ini, yakni mengenai agama Islam yang juga menjadi pewaris akar yang sama dari agama-agama Abrahamik. Sehingga kita dapat belajar juga mengenai agama-agama tersebut dan bagaimana melakukan dialog terhadap ketiga agama tersebut. Agar kasus seperti perusakan atau penutupan gereja bahkan samapi penusukan anggota jemaat tidak terjadi lagi. Dengan belajar dari dialog antara Kristen dan Yahudi juga bisa kita belajar untuk menerapkan dialog antar agama antara Islam dan Kristen di Indonesia, sehingga mendapatkan pemahaman yang tepat dari setiap agama-agama tersebut untuk mencapai suatu hubungan yang dialogis, saling menghormati dan saling melengkapi.