Kamis, 04 Agustus 2011

Diakonia:

 Bukan untuk menciptakan ketergantungan,
melainkan untuk memberdayakan dan membebaskan !

            Diakonia: bukan untuk menciptakan ketergantungan, melainkan untuk memberdayakan dan membebaskan! Slogan ini bukan hanya sebagai isapan jempol belaka namun menjadi tantangan bagi gereja apakah diakonia yang selama ini dilakukan sudah dapat memberdayakan warga jemaat di dalam kehidupannya. Ataukah hanya menciptakan ketergantungan yang pada akhirnya membuat jemaat menjadi jemaat yang memiliki mental ‘pengemis’.
            Diakonia seperti kita tahu, tidak lepas dari tugas panggilan gereja lainnya yang terdapat pada Koinonia (Persekutuan) dan Marturia (Kesaksian). Ketiga tugas ini diwariskan Yesus sendiri sebagai sebuah bentuk pelayanan. Pelayanan diakonia bukanlah suatu pilihan bagi gereja, namun merupakan tugas hakiki yang tidak bisa tidak dilakukannya di dunia ini. Penulis teringat pada pandapat J. C. Sikkel yang pernah mengatakan bahwa “The church can live without buildings, without diakonea the church dies”. Hal ini berarti, bahwa diakonia adalah nafas gereja. Ia baru menjadi gereja bila ia melakukan diakonia.
            Di dalam gereja, pelayanan diakonia terbagi menjadi tiga model, yaitu diakonia karitatif, diakonia reformatif, dan diakonia transformatif. Diakonia karitatif adalah model diakonia yang secara tradisonal dilakukan oleh  gereja pada tindakan-tindakan karitatif (amal). Pelayanan diakonia ini dilakukan dalam jangka pendek dengan memberikan bantuan secara langsung. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya bencana alam. Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang. Namun, sulit mengubah keadaan, meski sudah mendapat bantuan.  
            Kedua, diakonia reformatif. Pelayanan diakonia ini lebih menekankan pada aspek pembangunan. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan community development, seperti pembangunan pusat kesehatan, penyuluhan, bimas, dan koperasi. Ketiga, diakonia transformatif. Diakonia ini dipelopori oleh gereja di Amerika Latin untuk menjawab kemiskinan yang sangat parah pada saat itu. Dalam diakonia ini, bukan hanya berarti memberi makan, minum, pakaian, pembangunan, dan seterusnya, namun bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak hidup seperti hak makan, minum, pakaian, nafas, kerja, lingkungan yang sehat, yang telah hilang karena dirampas oleh pihak lain atau yang menindas. Dengan kata lain, dalam diakonia ini terdapat akses untuk mengontrol kebijakan-kebijakan publik, yang menyangkut nasib hidup mereka. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan keadilan. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan kebebasan. Kita butuh nasi, namun kita ingin memperolehnya dengan martabat dan pengharapan (dignity and hope). Hak hidup yang lebih manusiawi dan beradab inilah yang menjadi orientasi diakonia transformatif.
            Dari ketiga model pelayanan diakonia tersebut, kita dapat mengambil contoh dalam Kisah Para Rasul 3: 1-10, sebagai wujud dari pelayanan diakonia yang memberdayakan dan membebaskan tersebut. Dalam peristiwa ini, si lumpuh membutuhkan sedekah, tetapi kebutuhannya lebih dari itu. Apapun bentuk sedekah yang diberikan, termasuk emas dan perak, tidak akan memberi kesembuhan. Berapa banyak pun uang yang diberikan kepada orang lumpuh, tetap saja ia lumpuh. Tak ada sedekah yang dapat mengubah hidupnya. Sedekah hanya menempatkan hidup si lumpuh dalam rutinitas meminta dan menerima. Diakonia yang dilayankan oleh Petrus dalam peristiwa ini adalah diakonia yang mengantar si lumpuh melihat dan mengalami kemungkinan baru yang lebih baik. Bukan dengan uang, melainkan dengan iman dan kasih yang melayani, menguatkan dan selanjutnya membebaskan.
            Berdasarkan contoh peristiwa tersebut, pelayanan diakonia harus menuntun pada iman yang di dalamnya karya pembebasan Allah menjadi nyata. Kalau itu terjadi, maka nama Tuhanlah yang dipuji, bukan nama orang-orang yang memberi sedekah. Diakonia seharusnya mengubah orang sakit yang hanya bisa meminta-menita (tergantung) menjadi orang sembuh yang leluasa memuji Allah. Diakonia seharusnya mengubah manusia beban menjadi manusia yang selalu terbebani untuk menolong (Luk. 6: 38; Kis. 20: 35).
            Diakonia harus diletakkan di tempat yang sentral, sebagai suatu misi dalam kehidupan gereja. Diakonia bukan persoalan memberikan uang kepada orang miskin, tetapi berbagi solidaritas dengan mereka yang membutuhkan.
            Diakonia, bukan untuk menciptakan ketergantungan melainkan untuk memberdayakan dan membebaskan. Kebiasaan memberi sedekah kepada orang miskin adalah salah satu kebanggaan orang Yahudi. Kebiasaan itu bahkan menjadi salah satu indikator kesalehan yang kadang-kadang menyebabkan kesalehan berubah menjadi kesombongan rohani.  Dalam konteks kesetiaan beragama orang Yahudi, jelas peristiwa penyembuhan orang lumpuh ini dapat dipahami sebagai cara Allah melalui para rasul menyoroti kehidupan keagamaan orang Yahudi, dan menyatakan karya-Nya yang menyalematkan orang-orang yang sebe-lumnya hanya menjadi objek pelayanan yang amat terbatas manfaat-nya.
            Pelayanan dalam tradisi Yahudi memenuhi kebutuhan terbatas dari orang-orang tak berdaya, bahkan pelayanan itu telah menciptakan ketergantungan serta keterikatan si lumpuh pada materi atau kebutuhan fisik saja. Ia telah menjadi peminta-minta yang dimanjakan oleh tradisi agama yang tidak membebaskan. Hati dan pikirannya diisi dengan pengalaman meminta dan menerima sedekah. Ia tidak bisa lagi melihat kemungkinan lain, selain dari mengharap sesuatu diberikan langsung kepadanya
            Dari ketiga model diakonia tersebut manakah yang lebih banyak dilakukan oleh gereja? Penulis tidak segan-segan mengatakan bahwa diakonia karikatiflah yang lebih banyak dilakukan. Namun, hal itu bukanlah hal yang salah juga. Alangkah baiknya jika ketiga model pelayanan tersebut ada di dalam gereja. Agar pelayanan yang dilakukan benar-benar nyata untuk membebaskan semua umat. Sehingga mendorong kesadaran umat untuk  membangun mengembangkan potensi yang ada serta mencari peluang yang dapat dilakukan bersama. Dengan demikian, ketiga model diakonia tersebut membantu gereja untuk segera dapat melakukan tugas dan panggilannya sebagai gereja yang akan mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah dalam praxis pembebasan dan bagi pelayanannya yang holistik, komprehensif dan memberdayakan!
           
Sumber Acuan:
Widyatmadja, Yosep P. Yesus dan Wong Cilik. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
_____________________, Diakonia Sebagai Misi Gereja: Praksis dan Refleksi Diakonia Transformatif. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
van Kooij dkk, Rijn. Menguak fakta, Menata Karya Nyata: Sumbangan Teologi Praktis Dalam        Pencarian Model Pembangunan Jemaat Kontekstual. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007.
Singgih, Emmanuel Gerrit. Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam konteks Di Awal Milenium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Noordegraaf, A. Orientasi Diakonia Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Hidup Adalah....

Hidup adalah masalah pilihan.
Memilih untuk bahagia atau untuk sengsara.
Memilih untuk dipulihkan atau untuk menyimpan kepahitan.
Memilih untuk mengampuni atau untuk mendendam.

Hidup adalah masalah pilihan.
Kebahagiaan semu bisa  didapatkan, yang sejati tak jauh darijangkauan.
Cinta kasih juga bisa anda miliki, namun dendam dan amarah juga bisa dialami.
Persahabatan nan indah bukan impian, pengkhianatan dan kepahitan mungkin didapati.

Hidup adalah masalah pilihan.
Mengenai bagaimana menjalani hidup.
Mengenai bagaimana menghabiskan seluruh waktu.
Mengenai bagaimana  mencapai impian.
Dan mengenai bagaimana  memandang kehidupan.

Ada orang yang menganggap kehidupan sebagai angin yang berhembus.
Banyak yang datang dan yang pergi.
Tak dapat ditebak, dan tak dapat diselami.

Ada pula yang menganggap kehidupan sebagai medan peperangan.
Dimana ia harus berjuang tanpa henti.
Tanpa kedamaian di hati.

Sementara yang lain menganggap kehidupan sebagai kutuk dari Yang Mahakuasa.
Hidup tak lagi berarti bagi dirinya.
 Ratap tak pernah jauh dari mulutnya.
Air mata mengalir siang dan malam, sebab hanyalah duka nestapa yang ada.

Namun...
Orang yang berbahagia menganggap kehidupan sebagai suatu emas yang mulia.
 Harta nan sangat berharga.
 Anugrah Ilahi yang tak tertandingi.

Dijalaninya hidup, dengan asa dan impian.
Berjalan dalam jalan Sang Pencipta.
Berserah sepenuhnya.
Melangkah setapak demi setapak.
Sampai didapatinya mahkota kemuliannya.

Hidup adalah masalah pilihan !


Tanah Tinggi, Agustus 2011
  (Yanti Purnamasari Napitupulu)